PUISI/SAJAK
Saat Sejarah Berbisik Tentang Kita
Oleh Aulia Saputri
Di sudut senja yang mulai pudar,
aku mendengar sejarah berbisik pelan tentang kita.
Tentang dua jiwa yang pernah menari,
di bawah cahaya bulan dan denting tawa yang masih tersisa di udara.
Kita pernah seirama dengan waktu,
menyusuri hari-hari yang hangat tanpa tahu,
bahwa takdir diam-diam menulis jarak di antara tangan yang sempat saling menggenggam.
Kini, engkau di lembar lain sejarah,
dan aku di halaman yang berbeda arah.
Namun setiap kali angin lewat membawa aroma hujan,
aku tahu itu sisa momen yang tak sempat pulang.
Sejarah berbisik lagi malam ini,
mengingatkan bahwa kita pernah ada,
bukan sebagai legenda,
tapi sebagai kenangan yang menolak benar-benar hilang.
Jejak yang Tak Hilang
Oleh Zikrika Istiqamah
Ada suara di balik sunyi,
lirih tapi tegas mengisahkan langkah-langkah lama,
yang tak pernah benar-benar pergi.
Mereka berjuang bukan untuk dikenang,
tapi agar kita tak lupa berdiri.
Darah dan air mata mereka,
menjadi tinta bagi kata merdeka.
Kini, waktu terus berjalan,
namun jejak itu masih hangat di bumi ini.
Ia menunggu,
apakah kita masih mendengar bisikannya?
Bukan dari buku, bukan dari upacara,
tapi dari hati yang masih ingin berjuang,
tanpa perlu perang.
SENANDIKA
Oleh Salsa Nadita
Senandika 1
Saat aku terdiam,
Aku melihat masa lalu menatapku balik.
Bukan dengan kemarahan, tetapi dengan harapan.
Ia tak meminta dikenang.
Ia hanya ingin kita melanjutkan kisahnya,
bukan dengan peperangan, tetapi dengan keberanian.
Senandika 2
Ada suara lama yang hidup di antara detak waktu.
Ia tak berteriak, tapi hadir lewat bayang dan langkah yang tertinggal.
Setiap batu, setiap hembusan angin,
menyimpan kisah tentang mereka yang tak sempat dikenal.
Aku mendengar suara itu berbisik pelan :
“Jangan hanya mengingat yang menang,
Tapi juga mereka yang diam,
Namun tetap berjuang.”
QUOTES
Oleh Alya Saputri Brutu
"Sejarah bukan hanya masa lalu, tapi pesan abadi tentang siapa kita dan untuk apa kita berdiri.”
Oleh Annisa Rahmayani
"Ada kisah yang tak tercatat, tapi tetap hidup di napas mereka yang masih mengingat."
CERPEN
Selamat Bertugas, Ayah
Oleh Nafisah Calvina Izumi
Di luar terik matahari begitu silau menyengat seolah akan membakar yang sedang berada di bawahnya. Hal tersebut sukses membuat umat-umat manusia mengurangkan niat untuk melakukan kegiatan luar ruangan. Berlindung di dalam rumah dan bersantai seraya menikmati semilir angin sejuk dari benda baling-baling yang berputar degan kecepatan sedang menjadi pilihan sepasang orang tua dan anak ini.
Suara tawa dari keduanya sekali-kali terdengar ketika si tokoh kartun melakukan tingkah konyolnya. Gadis remaja itu menjadikan paha ayah menjadi bantalannya dan sang empu malah asyik mengusap surai legam milik putrinya.
“Hasya mau beli es serut gak?” tanya pria yang sudah berkepala empat, meski rambut hitamnya satu persatu mulai memutih dan terdapat sedikit kerutan di wajah kata tampan masih tepat untuk mendeskripsikannya.
Awalnya Hasya terbaring lemas begitu mendengar tawaran itu, ia langsung duduk seolah mendapatkan energi ekstra secara mendadak. “Mauu, Ayah tunggu di sini dulu Hasya mau siap-siap, cepat kok, Yah,” ucap Hasya sedetik kemudian ia berlari menuju kamarnya.
“Waktunya lima menit gak boleh telat,” celetuk ayah yang menjadi ingin mengusili putrinya.
“Siap, Kapten.” Teriakan gadis itu cukup keras hingga terdengar dari ruang tengah. Lelaki ini terkekeh ia tak percaya ternyata peri kecilnya ini sudah tumbuh menjadi sosok gadis remaja, sepertinya banyak waktu yang sudah ia lewatkan untuk menyaksikan proses tumbuhnya.
Hasya menyisir rambut bergelombangnya itu dengan jari-jari tangannya untuk lebih merapikannya. Di lihat lagi pantulan dirinya pada cermin ia sudah siap untuk pergi mendapatkan es serut. Gadis itu begitu bersemangat menuruni anak-anak tangga, bahkan sesekali ia melewatkan satu atau dua anak tangga agar cepat sampai di lantai dasar.
Ia tak mendapatkan sosok Ayah di ruang tengah ditambah televisi yang tadinya menyala kini malah menampilkan layar hitam saja. Malas berkeliling Hasya memilih cara cepat yaitu menemui sang ibunda, pasti beliau tau ke mana Ayah pergi.
Ternyata wanita paruh baya itu tengah sibuk menata meja makan masih dengan apron yang belum dilepaskan. Baru saja Hasya akan berbicara. “Pasti Hasya cari Ayah? Barusan Ayah dapat telepon dari batalion ada tugas dadakan.” Pundak Hasya merosot hal ini bukanlah yang pertama tetapi sudah berulang kali terjadi tapi entah mengapa rasanya selalu sama, kecewa akan janjinya yang tidak ditepati. Hasya hanya bisa duduk termenung di kursi yang menjadi saksi bisu kehangatan dan cerita-cerita ringan dari keluarga ini saat waktu makan.
“Terus begitu,” gumam Hasya mengeluh dengan suara yang kecil. Namun, Bunda mendengar itu. Beliau hanya bisa tersenyum kecil terkadang ia tidak bisa terus-terusan menghibur Hasya agar tidak sedih dengan hal itu karena wanita itu juga merasakan apa yang dirasakan. Hasya bahkan ia telah menghadapinya lebih sering dan dahulu.
Dua piring makanan favorit Hasya baru saja diletakkan tetapi Hasya tidak menunjukkan ia sadar akan kehadiran makanan itu, Bunda menghela napas. “Kalau masih murung makanannya Bunda kasih ke Cima.” Hasya langsung tersadar dari lamunannya, lalu mulai menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring. Walaupun sedang bersedih Hasya tetap harus makan. Ia tak ingin berbagi makanan dengan Cima, nama dari kucing persia berbulu abu-abu miliknya.
Keran air wastafel itu ia putar hingga membuat air yang akan mengalir jatuh terhenti. Gadis itu mengusap jari-jari tangannya ke handuk kecil berwarna merah muda yang sengaja digantungkan. Merasa sedikit sesak karena perutnya baru saja terisi penuh, ia memilih bersantai terlebih dahulu di ruang tengah. Ternyata Bunda juga tengah duduk di sofa ruangan itu, sambil menikmati siaran memasak. Hasya pun menghampiri Bunda dan ikut duduk di samping beliau.
Sadar akan kehadiran Hasya, Bunda melirik sekilas terlihat wajah lesu yang terpampang sama seperti dua hari yang lalu. “Hasya masih sedih?” Suara nan lembut dari Bunda membuat pertahanan Hasya mulai runtuh. Pundak tangguh Bunda kini menjadi pilihannya untuk bersandar.
“Hasya masih selalu sedih Bun, setiap Ayah pergi tugas mendadak jadinya rencana yang udah dibuat batal.” Suara gadis itu terdengar sedikit pelan karena tengah berusaha agar suara isakannya tak terdengar.
“Dengarkan Bunda, Hasya jangan terlalu lama buat sedih, kejadian ini bakal terus terulang karena Hasya ditakdirkan untuk jadi peri kecil dari seorang prajurit. Bukankah itu keren?” Gadis yang tengah dinasihati itu mengangguk lemas. Benar kata Bunda, fakta itu yang selalu ia banggakan.
“Di sini ada Bunda yang bakal nemanin Hasya buat belajar berdamai dengan keadaan.” Wanita itu benar. Selama Ayah masih menyandang status sebagai prajurit yang akan memberikan seluruh jiwa raganya untuk tanah air, hal ini akan terus berulang. Hasya akan selalu berpisah dengan Ayah, dalam selang waktu tertentu atau perpisahan yang sangat ia takutkan yaitu berpisah untuk selamanya.
...
Merasa kantuknya ini tidak dapat di lawan, Hasya memutuskan untuk mengakhiri kegiatan belajar, lalu membaringkan tubuhnya di kasur yang terbilang empuk. Sebelum benar-benar tidur, Hasya menatap potret keluarganya saat kelulusan sekolah dasar. Ia jadi teringat dengan acara perpisahan di jenjang menengah pertamanya yang akan diadakan sekitar dua bulan lagi. Hasya terkadang gelisah memikirkan itu, akankah Ayah bisa menghadiri acara itu? Hasya tak ingin jika ia menyaksikan teman-temannya di dampingi oleh kedua orang tuanya kemudian berfoto bersama. Hasya tak ingin merayakan hari bersejarah itu hanya bersama Bunda saja.
Pada waktu yang bersamaan saat ia akan memejamkan mata Hasya mengirimkan doa kepada sang penguasa semesta agar lautan dapat menjaga Ayah, Bunda diberikan rasa aman meskipun sendirian di rumah, dilancarkan segala prosesnya agar dapat membawa pulang medali emas yang ia janjikan, dan saat acara perpisahan Hasya ditemani oleh Ayah dan Bunda.
Walaupun keduanya sama-sama merindu, mereka memilih tak membuka suara seraya menikmati angin sejuk yang menerpa wajah. Suara demburan ombak yang pecah, akibat menabrak susunan batu besar yang kokoh dan aroma khas laut begitu menyengat di indra penciuman.
“Hasya pernah tanya, kenapa Ayah memperjuangkan angkatan laut ini dibandingkan yang lainnya? Karena saat Ayah berada di bibir pantai saja Ayah sudah merasakan ketenangan. Ayah yakin bahwa semakin dalam Ayah selami lautan, pasti rasa tenang itu lebih besar. Ayah masih ingat dulu waktu kecil Hasya benci sama lautan karena tempat ini Ayah jadi menghilang, Hasya gak bisa ketemu Ayah, apa sekarang masih begitu?” Hasya menatap lekat netra hitam Ayah, ia hanya bisa menggeleng. Ia berbohong, Hasya masih sedikit membenci lautan.
“Ayah boleh minta satu permintaan?”
“Boleh Ayah, Hasya pasti turuti permintaan itu”
“Jangan membenci lautan lagi ya, Ayah tak akan menghilang karena lautan, Ayah akan selalu ada di sini.”
...
Seorang supir dari taksi yang ia pesan dua puluh menit yang lalu itu, keluar dari mobilnya kemudian membantu Hasya untuk membawakan lalu memasukkan koper miliknya ke dalam bagasi, untunglah bapak ini sangat baik menyelamatkannya dari sakit pinggang karena mengangkat koper ini. Acara olimpiade berlangsung selama lima hari, jadi mengharuskan Hasya untuk tinggal sementara di wisma yang telah di sediakan pihak olimpiade. Hasya tersenyum menatap sebuah kotak berbahan dasar kulit berwarna biru yang berada di genggamannya. Sang penguasa semesta mendengarkan permintaannya. Hasya berhasil membawa pulang medali emas dari olimpiade ini. Ia tak sabar sampai di rumah dan memberikannya kepada Bunda dan menyambut kepulangan ayah dengan menggalungkan medali emas ini di lehernya.
Tak perlu waktu yang lama taksi biru ini berhenti di depan pagar rumah Hasya. Supir itu kembali menolong Hasya membawa kopernya hingga teras rumah. Gadis itu berterimakasih atas kebaikannya, lalu memberikan ongkos dan melebihkannya untuk sebagai tip.
Hasya sedikit terheran pintu rumah tertutup rapat, ketika ia mengintip dari jendela samar-samar terlihat keadaan rumah terlihat sepi, seolah rumah itu tengah di tinggalkan pemiliknya. Hasya menekan ke bawah knop pintu ternyata terbuka, ada dua kemungkinan yang terjadi, Bunda yang sedang pergi keluar sementara, lalu lupa mengunci pintu atau Bunda masih ada di dalam dan sedang mencoba membuat kejutan untuk dirinya.
Benar saja ketika ia membuka pintu keadaan rumah masih gelap. Hasya tetap mencari keberadaan Bunda. Terlihat sedikit cahaya dari pintu kamar orang tuanya yang tak tertutup sempurna, Hasya yakin pasti wanita itu berada di sana.
“Bunda kenapa bun?” Hasya terkejut melihat Bunda yang menangis sesegukan, seumur hidupnya ia tak pernah melihat Bunda serapuh ini. Gadis itu hanya bisa merengkuh tubuh lemah Bunda meskipun Hasya tak tau apa yang terjadi.
“Hasya...kapal Ayah hilang kontak.”
Tangan yang awalnya kuat menahan tubuh Bunda, kini ikut melemas seolah setengah jiwanya sudah dicabut. Rasanya seperti mimpi, tetapi ini terlalu nyata.
“Pasti mesin sensornya lagi rusak atau karena cuaca, gak mungkin Bun, Ayah bisa menghilang begini.” Hasya sedikit mengguncang pundak Bunda agar beliau membenarkan dugaannya.
“Maaf Bunda yang gak kasih tau kamu, kemarin kapal Ayah sudah menghilang dua hari yang lalu Hasya,”ucap Bunda. Hasya langsung teringat dua hari yang lalu, ia sempat jatuh sakit hingga tidak mengikuti rangkaian kegiatan yang diadakan oleh panitia, jadi itu adalah pertanda bukan sekedar sakit biasa?
Hasya masih belum percaya, ia berlari ke ruang tengah lalu menghidupkan televisi. Perkataan Bunda benar, kini tengah dilakukan pencarian KRI Nanggla, kapal yang ditumpangi oleh Ayah. Hasya sibuk mengganti siaran demi siaran berita mencari yang mana lebih terbaru.
Di dalam hati, Hasya merapalkan doa agar kapal itu segera ditemukan dan Ayah ditemukan dalam keadaan selamat. Namun, baru saja di temukan beberapa kepingan badan kapal dalam jumlah yang bukan sedikit. Reporter itu menyampaikan bahwa kemungkinan besar kapal itu telah hancur di dasar laut.
...
Pelabuhan, bagi sebagian orang tempat ini membuat lekungan bulan sabit mereka muncul entah itu karena dapat melihat indahnya hamparan luasnya lautan atau rasa antusias menunggu kapal dan siap untuk berlayar di samudra itu.
Hari ini wajah-wajah berseri itu menghilang, pelabuhan menjadi kelabu bak rumah duka. Tak ada suara gelak tawa, hanya terdengar suara isak tangis pilu dan tatapan kosong menatap lautan karena mereka sudah lelah untuk menangis.
Hasya, gadis itu menjadi bagian dari orang-orang itu. Sejak awal kedatangannya, ia memilih mengasingkan dirinya sementara di pojok dermaga. Hasya membiarkan hembusan angin laut itu menusuk kulit wajahnya. “Laut, selama satu minggu lamanya, kau hanya memberikan puing-puing kapal tak bisakah kau berbaik hati kali ini untuk memunculkan jasad ayah?” tanya Hasya dengan suara sedikit serak.
Mendengar pengumuman untuk kembali berkumpul, Hasya pun segera kembali ke sumber suara. Semua keluarga yang menjadi korban KRI Nanggala berkumpul untuk memberikan penghormatan terkahir. Pencarian korban telah dihentikan kemarin. Namun, semua keluarga masih menaruh rasa berharap agar prajurit laut itu muncul ke permukaan.
Sebelumnya, Hasya menganggap bahwa ia adalah orang yang paling menyedihkan di dunia ini ternyata ia salah. Disini ia bisa melihat banyak orang-orang yang mempunyai nasib sama dengannya. Air mata Hasya tak dapat ia tahan ketika melihat anak-anak yang senang melihat kapal milik Angkatan Laut itu datang.
“Mama lihat kapalnya sudah datang, aku gak sabar ketemu papa ma,” ucapnya seraya menarik-narik tangan sang ibu. Hasya bisa melihat senyuman palsu yang dibuat wanita itu agar tak membuat si buah hati bersedih atas kehilangan satu orang tua laki-lakinya.
Hasya melihat Bunda yang berdiri tepat di sampingnya, tatapan wanita itu tampak kosong. Ia baru menyadari lencana Jelasantri Bunda tampak miring, Hasya segera membenarkannya. “Bunda bilang lencana ini harus terlihat sempurna bukan, walaupun Bunda sedang tidak baik-baik saja.”
Wanita paruh baya itu tersadar dari lamunannya, lalu mengusap kepala Hasya. “Hasya maafkan bunda yang lemah tak seperti ibu yang tetap tegar dalam keadaan seperti ini.”
“Tak apa bunda kita juga sama-sama rapuh, tapi pas kita udah sampai ke tempat Ayah, Bunda harus senyum ya biar tambah cantik kan mau ketemu Ayah.” Mendengar ujaran Hasya, Bunda langsung memeluknya dengan erat, ia melimpahkan seluruh tangisannya di pundak gadis kecilnya, wanita ini sangat malu kepada dirinya sendiri karena tak setegar putrinya.
...
Mesin kapal itu berhenti menandakan, mereka sampai di tempat terakhir KRI Nanggala terdeteksi. Kelopak-kelopak indah dari berbagai jenis bunga itu mulai ditaburkan ke lautan. Setelah bunga yang ada di keranjang Hasya habis ia mengeluarkan suatu botol kaca dari tas selempang miliknya lalu ia jatuhkan ke laut. Malam sebelum ia pergi ke upacara ini, Hasya menyempatkan membuat sepucuk surat, lalu ia masukan ke dalam satu botol yang berukuran sedang lalu ia kaitkan dengan satu hiasan terumbu karang pemberian ayah menggunakan benang.
Untuk Ayah.
Ayah, Hasya berhasil dapetin medali yang Hasya janjikan, tapi Ayah lebih memilih untuk berlayar lebih jauh ketimbang melihat medali ini. Ayah gak usah khawatir Hasya bakal marah karena Ayah gak hadir di acara kelulusan Hasya berikutnya, masih ada Bunda kok yang bakal nemani Hasya, walaupun Ayah gak ada di foto tapi Ayah selalu abadi di hati Hasya sama Bunda. Ayah ternyata cintanya lautan lebih besar dibandingkan Hasya sampai dia gak mau kasih tubuh Ayah ke Hasya. Ayah pasti senang untuk beristirahat dengan damai di tempat favorit Ayah. Maaf Hasya belum bisa memenuhi permintaan Ayah untuk gak benci sama lautan, karena luka Hasya terlalu dalam mungkin butuh waktu seumur hidup untuk menyembuhkan lukanya. Cukup sampai di sini dulu, ini surat pertama yang Hasya kirimkan. Tunggu surat-surat Hasya berikutnya Ayah. Selamat menyelami lautan lebih dalam dan selamat bertugas AYAH.
Posting Komentar