PUISI/SAJAK
Untukmu 2000 Tahun Yang Lalu
Oleh Anonim
Ada yang tertinggal di lorong waktu,
bukan artefak, bukan prasasti.
Melainkan tatapanmu yang terselip,
di antara detik yang tak sempat kembali.
Kita pernah berdiri di bawah langit yang sama,
kau dalam balutan kain sutra.
Aku, bayang-bayang yang belum sempat jadi nama,
menunggumu di ujung doa.
Mereka bilang cinta tak pernah punah,
dan aku membuktikannya.
Sebab setiap malam, hatiku menggali reruntuhan,
untuk menemukanmu dalam serpihan mimpi.
Kau mungkin telah jadi legenda,
dikenang di dongeng-dongeng tua.
Tetapi bagiku, kau lebih nyata,
dan kau lebih indah dari angkasa.
Di antara sekian luasnya bumi ini,
Tuhan menjatuhkan rasaku,
pada rapatnya pintu hatimu.
Ketahuilah,
kita begitu sempurna,
dalam ketidaksamaan rasa.
Dan sebelum kata “pergi”,
menjadi diksi yang paling kau cari,
perlu kau ketahui,
bahwa,
“Namamu abadi,
tersematkan di balik puisi,
akan selalu menjadi makna,
dari proses yang kucipta.
Pergi dan peluklah erat semestamu,
biarlah sunyi yang memelukku.”
Jika langit mengizinkan,
akan kutulis puisi di altar bintang,
agar saat kau membacanya 2000 tahun lalu,
kau tahu, ada aku di masa depan,
yang masih mencintaimu tanpa alasan.
Oleh Hafifah
Ada pagi yang datang membawa harapan,
dan senja yang pulang dengan kelelahan.
Di antaranya, kita berjalan pelan,
menyulam waktu dengan impian.
Hidup tak selalu terang,
kadang langkahmu tersandung bayang.
Namun, ingatlah matahari pun pernah tenggelam,
bukan untuk hilang, tapi untuk datang lagi dengan terang.
Hidup bukan soal cepat sampai,
tapi tentang berani berjalan lagi setelah jatuh.
Dan saat kamu lelah,
Ingat bahwa kamu pernah berjuang sejauh ini,
dan itu tak pernah sia-sia.
SENANDIKA
Semua Berawal dari ‘Coba Aja’
Oleh Kelompok 2 IKM A4 (Chelsi, dkk.)
Aku lupa tepatnya kapan mulai merokok. Awalnya cuma nongkrong di kantin belakang kampus. Teman-teman mengeluarkan rokok satu per satu, terus menyodorkannya kepadaku, “coba aja dulu, satu batang doang.”
Waktu itu aku mikir… ya udahlah, coba aja. Toh semua juga ngelakuin.
Dan dari “coba aja” itulah semuanya mulai.
Sekarang, tiap pagi sebelum kuliah, rasanya nggak lengkap kalau belum merokok. Duduk di bangku depan gedung, kopi sachet di tangan, rokok di mulut. Aku merasa keren. Padahal, mungkin cuma paru-paruku yang lagi berjuang diam-diam.
Dimas, temanku, sering duduk di sebelah. Tapi akhir-akhir ini dia selalu menutup hidung sambil mengipas-ngipas asap rokokku. Kadang batuk kecil. Aku pura-pura tidak lihat. Dalam hati, aku tahu dia terganggu. Tetapi lebih gampang mengelak daripada mengaku kalau kebiasaan ini menyusahkan orang lain.
Saat itu, Zaki datang bawa vape rasa stroberi. Katanya lebih aman. Lebih modern. Asapnya tebal banget sampai kayak kabut saat pensi kampus. Kami ketawa bareng, ngerasa kayak “anak hits”. Tapi jauh di dalam hati, aku sadar… ya sama saja. cuma rasa dan baunya.
Beberapa minggu terakhir, badan mulai kasih tanda. Naik tangga satu lantai aja udah ngos-ngosan. Malam kadang batuk sampai susah tidur. Aku masih muda, tapi napasku udah kayak bapak-bapak abis main futsal. Awalnya aku cuek, tetapi lama-lama… aku takut sendiri.
Hari itu dosen bawa poster besar ke kelas. Gambar paru-paru hitam, tulisan besar: “Perokok pasif juga korban.”
Aku tidak tahu kenapa, kalimat itu langsung nyantol di kepala. Aku ngeliat Dimas di pojok kelas. Mungkin selama ini dia yang paling sering kena asapku. Dan tiba-tiba… rasa malu itu muncul.
Pulang kuliah, aku duduk sendirian di tangga kampus. Satu batang terakhir ada di saku. Aku pegang lama. Rasanya kayak megang keputusan hidup. Dalam beberapa tahun, rokok ini udah ngambil banyak hal: uang, napas, bahkan kepedulianku ke orang sekitar.
Akhirnya… aku buang. Bener-bener buang, bukan cuma janji. Mungkin berhenti nggak gampang. Tapi lebih susah lagi hidup dengan paru-paru rusak, atau menyaki orang lain tanpa sadar.
CERPEN
Putih, Hampa, dan Masa Depan(?)
Oleh Ryv
Satu langkah lagi. Kaki-kaki itu berhasil menginjakkan kaki di tangga terakhir. Di depan mereka kini berdiri ribuan pintu putih yang berdiri tegak. Mereka diminta untuk memilih salah satunya. Sayang, aturannya mengatakan hanya boleh satu orang yang masuk setiap pintunya.
Hati mereka bergejolak. Tentu tak siap dengan perpisahan yang tak diketahui berapa lamanya. Sedih tak dapat dipungkiri. Namun perjuangan tiga tahun tentu tak ingin disia-siakan hanya karena perasaan sepele itu.
Setelah cukup lama memilih, mereka akhirnya menentukan pintu mana yang akan mereka masuki. Kata-kata selamat tinggal diucapkan. Menoleh ke belakang, manik mereka serempak menyisir seisi ruangan yang penuh warna-warni itu, warna-warni yang kian bertambah seiring perjuangan mereka menaiki tangga yang panjang dimasa lampau.
Pintu pilihan mereka masing-masing terbuka. Kaki mereka menginjak ruangan baru dibalik pintu itu dengan semangat empat lima. Harapan ada di depan sana. Harta karun yang tidak diketahui keberadaannya bisa saja menjadi bonus perjalanan dimasa depan. Begitulah harapan mereka.
****
Kaki itu terus melangkah dengan sendirinya. Maniknya terus memandang ke depan walau kesannya sangat sia-sia. Hanya warna putih polos di depan sana. Tidak ada ujung sama sekali.
Ah... Sudah berapa lama ia berada di tempat itu. Jiwanya pun tidak sudi hanya untuk sekedar mengingat berapa lama tungkai itu membawa tubuh yang tidak seperti berjiwa. Bahkan ia sendiri tidak tahu apakah tubuh itu masih berjiwa atau tidak.
Tiga bulan lebih sudah berlalu. Perjalanan panjang terus ia lakukan tanpa bertemu apa pun. Hanya ruangan putih yang hampa. Ia bahkan tidak tahu apakah yang selama ini dia jalani adalah sebuah jalan atau tidak. Apa yang akan dihadapinya di depan sana? Jalan buntu atau malah jalan tiada batas?
Sesekali ia terjatuh, tapi ia tidak tahu apa yang membuatnya jatuh. Ia ter tungkai tanpa tahu apa yang menungkainya. Hanya putih. Sangat putih sampai kegelapan pun enggan untuk mengganggu.
Tiga bulan tanpa apa pun. Semakin ia berjalan semakin hampa ruangan itu. Menoleh ke belakang pun tidak ada yang bisa dilihat lagi. Putih di depan, putih di belakang. Hanya langkah yang terasa sia-sia yang tersisa. Bahkan ia tidak yakin ingat semua kesenangan yang terus mengisi masa lalunya.
Alis itu tiada henti-hentinya untuk mengernyit. Rintangan yang tiada habisnya, jatuh bangun yang tidak bisa terelakkan seperti yang biasa terjadi di masa lampau tidak dapat ia temukan di tempat itu.
Jiwa itu terus meraung, meminta untuk segera membawanya keluar dari sana. Tapi raga bingung untuk menjawab. Bagaimana caranya?
Mereka mungkin bahkan sudah tidak cocok lagi. Seperti kunci pintu yang digunakan untuk membuka gembok.
Ia bingung. Ingin menangis tapi tidak tahu apa yang harus ditangisi. Ingin tertawa tapi tidak ada yang lucu. Oh! Tapi jika dipikir-pikir ada yang lucu. Kebodohan dia mengambil pintu yang salah. Setidaknya salah baginya tapi tidak bagi orang lain.
Tujuannya tidak jelas. Itulah kesalahan terbesarnya saat memilih pintu itu. Hanya bergantung pada jalan di depan sana dengan pemikiran ia akan menghadapi semua rintangan apa pun itu yang penting bisa jalan ke depan. Harapan bertemu rekan baru juga tidak dapat dipungkiri juga menjadi bagian dari rencana kala itu. Namun semua pemikiran itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Ia hanya sendiri ditemani ruangan putih tanpa jalan itu.
Terbesit pikiran untuk mengakhiri perjalanan panjang yang tidak jelas ini. Terkadang keinginan untuk berlari ke belakang dan mencari kembali pintu masuk sebelumnya muncul dalam benaknya. Keluar dari ruangan itu dan akan menyiapkan semuanya kembali sebelum memilih pintu lainnya. Namun ada banyak pertimbangan. Perlu biaya yang besar hanya untuk sekedar membuka pintu yang baru. Selain itu ia takut ditinggal oleh rekan lamanya di titik temu yang dijanjikan.
Lalu? Sekarang ia bisa apa?
Tidak tahu. Ia sangat bingung. Bingung harus apa, bingung bagaimana ke depannya, dan bingung akhir seperti apa yang akan menghampirinya. Hanya melangkah dan melangkah sebagai bentuk harapan yang tersisa.
Posting Komentar