RASA 8 : Senyap di Ujung Cerita

 


PUISI/SAJAK

Senyap Mengakhiri

Oleh Dina Aulya Putri

Di batas waktu yang perlahan surut

Ada kata-kata yang enggan terucap

Kita pernah bersuara lantang

Kini hanya gema yang tersisa

 

Senyap menyelubungi ruang

Menutup celah pada kisah usang

Dan aku tahu

Kadang diam lebih tulus daripada salam perpisahan

 

Ujung Cerita

Oleh Dina Aulya Putri

Tak ada dentang lonceng

Tak ada riuh tepuk tangan

Hanya hening

Menutup panggung kehidupan

 

Aku berjalan keluar

Kau tetap di sana

Tak ada yang benar-benar selesai

Selain hati yang memilih diam



Sisa Langkah

Oleh Septana Ramadhani

Langkah panjang sudah tertinggal

Jejaknya nyaris hilang ditelan tanah basah

Orang-orang bicara

Tapi aku hanya mendengar sunyi

 

Di ujung cerita

Bukan sorak yang menunggu

Hanya senyap yang dingin

Menyambut tanpa tanya


Selesai

Oleh Septana Ramadhani

Semua gaduh mereda

Kertas-kertas yang tadi penuh coretan

Tergeletak tak berguna

 

Aku berhenti di sini

Senyap menutup rapat segala pintu

Tak ada yang kekal

Selain hening yang abadi


SENANDIKA


Oleh Dina Aulya Putri

Aku sering bertanya-tanya, mengapa setiap kisah harus berakhir. Mungkin memang begitu alurnya agar kita belajar melepas. Kini, di ujung cerita, yang tersisa hanyalah senyap. Bukan karena aku tak ingin bicara, tetapi karena kata-kata tak lagi menemukan rumahnya. Dalam diam inilah aku menyadari bahwa akhir bukanlah musuh, melainkan pintu menuju ketenangan.


Oleh Dina Aulya Putri

Senyap itu berat, tetapi juga menenangkan. Ia hadir tanpa izin, menutup cerita tanpa janji. Aku tidak lagi marah, tidak lagi merindu, hanya hening yang menemani. Di ujung cerita ini, aku berhenti menunggu karena mungkin diam adalah satu-satunya cara untuk benar-benar selesai.


Oleh Izzah Khairunnisa

1.     “Aku berdiri di ujung kisah ini, menatap sunyi yang perlahan menutup semua suara. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi air mata, yang ada hanya senyap yang menggema di antara ruang kosong. Mungkin beginilah akhir seharusnya datang: tidak meledak, tidak dramatis, hanya diam yang menyelimuti segalanya. Anehnya, dalam senyap itu aku justru menemukan diriku sendiri, menemukan arti dari kehilangan, dan menemukan keberanian untuk melangkah pergi. Senyap di ujung cerita ini bukan akhir bagiku, melainkan pintu menuju bab yang baru.”


Oleh Izzah Khairunnisa


“Kini, aku tahu bahwa tidak semua cerita butuh perpisahan yang ramai. Ada yang selesai dalam senyap, tanpa pamit, tanpa sapa terakhir. Sunyi menutup halaman ini, seolah mengajariku bahwa akhir bukanlah tentang siapa yang tinggal atau pergi, melainkan tentang keberanian menerima kenyataan. Di ujung cerita yang hening ini, aku akhirnya belajar merelakan.”



Oleh Septana Ramadhani

Aku berdiri di tengah ramai, tapi dunia terasa hening.

Orang-orang lalu lalang dengan wajah yang sama: tergesa.

Aku diam, menatap, dan bertanya.

Apakah semua ini menuju ujung yang sama: senyap?


Oleh Septana Ramadhani

Aku belajar bahwa suara tak selalu perlu lantang.

Kadang diam lebih tajam dari teriakan.

Sebab di akhir perjalanan, kita semua akan dipeluk oleh senyap.

Entah siap atau tidak.


PANTUN


Oleh Anindira Nadiva

Lilin padam tertiup angin

Asap membubung tanpa terasa

Kisah berakhir tak lagi terjamin

Tinggal penyesalan di ujung cerita

 

Perahu kecil berlayar ke muara

Singgah sebentar di tepi samudra

Riuh berakhir, lenyaplah suara

Hanya tersisa damai terasa


QUOTES



Oleh Dina Aulya Putri

“Tidak semua akhir butuh suara, beberapa cukup ditutup dengan senyap yang memahami.”

 ”Senyap di ujung cerita bukan berarti kehilangan, melainkan ruang untuk menerima.”


Oleh Septana Ramadhani

"Senyap adalah jawaban terakhir dari semua riuh yang pernah kita buat."

 "Ujung cerita bukanlah tanda kalah, hanya ruang untuk menunduk dan diam."


Oleh Inaya Nadira Sari


“Di ujung kisah kita, senyap menjadi bahasa terakhir yang tak sempat kita terjemahkan.


CERPEN

“Salah Tafsir pada Virgo”

Melfa Ashilla Nashwa


Aku masih ingat pertama kali bertemu dengan Virga, Bukan momen yang istimewa bagi dunia, tetapi cukup untuk membuat hatiku bergetar. Aku bertemu Virgo di sebuah ajang lomba nasional. Senyumnya hangat, matanya jernih, dan sikapnya… ah, terlalu baik untuk sekadar pertemuan singkat. Sejak itu, aku seperti menemukan orbit baru, seakan gravitasi hatiku dipaksa untuk berpindah. Virgo sering menanyakan kabarku, hal-hal kecil yang biasanya orang abaikan. Dari caranya menyapaku, aku merasa diperhatikan. Pertemuan setiap hari ini membuatku sangat gugup. Sungguh, aku yang Capricorn, sulit untuk tidak hanyut. Mungkin benar, terlalu cepat jatuh adalah kelemahanku.

Ada satu hari yang tak akan pernah kulupakan. Aku datang dengan hati yang remuk, penuh luka yang tak sempat kututup rapat. Virgo melihatku diam, wajahku jelas-jelas murung. Ia menatapku lama, seolah tahu ada badai yang sedang kualami. Lalu dengan nada ringan, ia berkata:
“Kalau aku cewek, sudah aku peluk kamu, Capricorn.”

Sejak hari itu, aku makin bingung dengan diriku sendiri. Sekarang, aku hampir setiap hari bertemu dengan Virgo. Ia ada di sekitarku, dekat, tapi sekaligus jauh. Kami seperti kakak dan adik tanpa status hangat, akrab, tapi membingungkan.

Aku sering bertanya dalam hati: apa aku terlalu cepat jatuh cinta? Apa aku terlalu cepat sayang? Sepertinya begitu. Aku sering menyalahkan diriku sendiri. Kenapa harus begini lagi? Kenapa hatiku begitu mudah terguncang? Kenapa aku kembali menaruh rasa pada seseorang yang jelas-jelas tak menganggapku lebih dari sekadar adik?

Aku mencoba menutup perasaan ini. Berulang kali. Aku bilang pada diri sendiri bahwa semua ini hanya khayalan, hanya perasaan yang terlalu cepat berlari. Tapi setiap kali Virgo tersenyum atau sekadar menanyakan kabarku, benteng yang kubangun runtuh begitu saja. Hari-hari terus berjalan, dan aku sadar bahwa cinta ini bertepuk sebelah tangan. Virgo tidak salah. Ia hanya menjadi dirinya sendiri baik, tulus, dan perhatian. Akulah yang salah menafsirkan, akulah yang terjebak dalam imajinasi.

Ada saat-saat di mana aku berharap bisa berkata jujur, mengungkapkan semuanya pada Virgo. Tapi di ujung pikiran, aku tahu jawabannya tidak akan berubah. Ia akan tetap menatapku dengan pandangan yang sama, pandangan seorang kakak pada adiknya.

Pada akhirnya, aku harus belajar menerima. Tidak semua cinta ditakdirkan berbalas. Tidak semua pertemuan harus berujung pada kebersamaan. Beberapa kisah memang hanya ditulis untuk berhenti di tengah jalan, menjadi kenangan yang tak pernah selesai.

Kini, ketika aku menuliskan ini, aku sadar bahwa mungkin inilah akhir dari cerita yang bahkan tidak pernah benar-benar dimulai. Senyap, tanpa kata perpisahan, tanpa tanda tanya yang butuh jawaban. Hanya aku, Capricorn, yang harus melangkah menjauh dengan hati yang masih setengah utuh.

Virgo akan terus berjalan dengan dunianya, dan aku akan tetap mengingatnya sebagai sosok yang pernah mengajarkan arti perhatian.

Dan di situlah akhirnya hening, tanpa suara. Senyap di ujung cerita.


Ruang Putih

Oleh Septana Ramadhani


Ruang itu kosong. Dindingnya putih, lampunya redup, kursinya dingin. Aku duduk sendirian.

 

Tadi ada keramaian: tawa, debat, derap langkah. Sekarang tak ada lagi. Semua sudah pulang, menyisakan hening yang begitu pekat.

 

Aku menatap papan tulis yang penuh coretan tak berguna. Betapa cepat sesuatu menjadi sia-sia setelah selesai dipakai. Mungkin begitu juga dengan manusia. Selesai satu babak, kita hanya menyisakan senyap di belakang.

 

Aku tersenyum tipis.

Barangkali memang begitu, setiap cerita harus tunduk pada ujung.

Dan di ujung itu, yang menunggu hanyalah senyap.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama