PUISI/SAJAK
Senyap Mengakhiri
Di batas waktu yang perlahan surut
Ada kata-kata yang enggan terucap
Kita pernah bersuara lantang
Kini hanya gema yang tersisa
Senyap menyelubungi ruang
Menutup celah pada kisah usang
Dan aku tahu
Kadang diam lebih tulus daripada salam perpisahan
Ujung Cerita
Tak ada dentang lonceng
Tak ada riuh tepuk tangan
Hanya hening
Menutup panggung kehidupan
Aku berjalan keluar
Kau tetap di sana
Tak ada yang benar-benar selesai
Selain
hati yang memilih diam
Sisa Langkah
Langkah panjang sudah tertinggal
Jejaknya nyaris hilang ditelan tanah basah
Orang-orang bicara
Tapi aku hanya mendengar sunyi
Di ujung cerita
Bukan sorak yang menunggu
Hanya senyap yang dingin
Menyambut tanpa tanya
Selesai
Semua gaduh mereda
Kertas-kertas yang tadi penuh coretan
Tergeletak tak berguna
Aku berhenti di sini
Senyap menutup rapat segala pintu
Tak ada yang kekal
Selain hening yang abadi
SENANDIKA
Aku sering bertanya-tanya, mengapa setiap kisah harus
berakhir. Mungkin memang begitu alurnya agar kita belajar melepas. Kini, di
ujung cerita, yang tersisa hanyalah senyap. Bukan karena aku tak ingin bicara,
tetapi karena kata-kata tak lagi menemukan rumahnya. Dalam diam inilah aku
menyadari bahwa akhir bukanlah musuh, melainkan pintu menuju ketenangan.
Oleh Dina Aulya Putri
Senyap itu berat, tetapi juga menenangkan. Ia hadir tanpa
izin, menutup cerita tanpa janji. Aku tidak lagi marah, tidak lagi merindu,
hanya hening yang menemani. Di ujung cerita ini, aku berhenti menunggu karena
mungkin diam adalah satu-satunya cara untuk benar-benar selesai.
Oleh Izzah Khairunnisa
1.
“Aku
berdiri di ujung kisah ini, menatap sunyi yang perlahan menutup semua suara.
Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi air mata, yang ada hanya senyap yang
menggema di antara ruang kosong. Mungkin beginilah akhir seharusnya datang:
tidak meledak, tidak dramatis, hanya diam yang menyelimuti segalanya. Anehnya,
dalam senyap itu aku justru menemukan diriku sendiri, menemukan arti dari
kehilangan, dan menemukan keberanian untuk melangkah pergi. Senyap di ujung
cerita ini bukan akhir bagiku, melainkan pintu menuju bab yang baru.”
Oleh Izzah Khairunnisa
Aku berdiri di tengah ramai, tapi dunia terasa hening.
Orang-orang lalu lalang dengan wajah yang sama: tergesa.
Aku diam, menatap, dan bertanya.
Apakah semua ini menuju ujung yang sama: senyap?
Oleh Septana Ramadhani
Aku belajar bahwa suara tak selalu perlu lantang.
Kadang diam lebih tajam dari teriakan.
Sebab di akhir perjalanan, kita semua akan dipeluk oleh
senyap.
Entah siap atau tidak.
PANTUN
Oleh Anindira Nadiva
Lilin padam tertiup angin
Asap membubung tanpa terasa
Kisah berakhir tak lagi terjamin
Tinggal penyesalan di ujung cerita
Perahu kecil berlayar ke muara
Singgah sebentar di tepi samudra
Riuh berakhir, lenyaplah suara
Hanya tersisa damai terasa
QUOTES
“Tidak semua akhir butuh suara, beberapa cukup ditutup dengan senyap yang memahami.”
”Senyap di ujung
cerita bukan berarti kehilangan, melainkan ruang untuk menerima.”
Oleh Septana Ramadhani
"Senyap adalah jawaban terakhir dari semua riuh yang
pernah kita buat."
"Ujung cerita
bukanlah tanda kalah, hanya ruang untuk menunduk dan diam."
Oleh Inaya Nadira Sari
CERPEN
“Salah Tafsir pada
Virgo”
Melfa Ashilla Nashwa
Aku masih ingat
pertama kali bertemu dengan Virga, Bukan momen yang istimewa bagi dunia, tetapi
cukup untuk membuat hatiku bergetar. Aku bertemu Virgo di sebuah ajang lomba
nasional. Senyumnya hangat, matanya jernih, dan sikapnya… ah, terlalu baik
untuk sekadar pertemuan singkat. Sejak itu, aku seperti menemukan orbit baru,
seakan gravitasi hatiku dipaksa untuk berpindah. Virgo sering menanyakan
kabarku, hal-hal kecil yang biasanya orang abaikan. Dari caranya menyapaku, aku
merasa diperhatikan. Pertemuan setiap hari ini membuatku sangat gugup. Sungguh,
aku yang Capricorn, sulit untuk tidak hanyut. Mungkin benar, terlalu cepat
jatuh adalah kelemahanku.
Ada satu hari
yang tak akan pernah kulupakan. Aku datang dengan hati yang remuk, penuh luka
yang tak sempat kututup rapat. Virgo melihatku diam, wajahku jelas-jelas
murung. Ia menatapku lama, seolah tahu ada badai yang sedang kualami. Lalu
dengan nada ringan, ia berkata:
“Kalau aku cewek, sudah aku peluk kamu, Capricorn.”
Sejak hari itu,
aku makin bingung dengan diriku sendiri. Sekarang, aku hampir setiap hari
bertemu dengan Virgo. Ia ada di sekitarku, dekat, tapi sekaligus jauh. Kami
seperti kakak dan adik tanpa status hangat, akrab, tapi membingungkan.
Aku sering
bertanya dalam hati: apa aku terlalu cepat jatuh cinta? Apa aku terlalu
cepat sayang? Sepertinya begitu. Aku sering menyalahkan diriku sendiri.
Kenapa harus begini lagi? Kenapa hatiku begitu mudah terguncang? Kenapa aku
kembali menaruh rasa pada seseorang yang jelas-jelas tak menganggapku lebih
dari sekadar adik?
Aku mencoba
menutup perasaan ini. Berulang kali. Aku bilang pada diri sendiri bahwa semua
ini hanya khayalan, hanya perasaan yang terlalu cepat berlari. Tapi setiap kali
Virgo tersenyum atau sekadar menanyakan kabarku, benteng yang kubangun runtuh
begitu saja. Hari-hari terus berjalan, dan aku sadar bahwa cinta ini bertepuk
sebelah tangan. Virgo tidak salah. Ia hanya menjadi dirinya sendiri baik,
tulus, dan perhatian. Akulah yang salah menafsirkan, akulah yang terjebak dalam
imajinasi.
Ada saat-saat di
mana aku berharap bisa berkata jujur, mengungkapkan semuanya pada Virgo. Tapi
di ujung pikiran, aku tahu jawabannya tidak akan berubah. Ia akan tetap
menatapku dengan pandangan yang sama, pandangan seorang kakak pada adiknya.
Pada akhirnya,
aku harus belajar menerima. Tidak semua cinta ditakdirkan berbalas. Tidak semua
pertemuan harus berujung pada kebersamaan. Beberapa kisah memang hanya ditulis
untuk berhenti di tengah jalan, menjadi kenangan yang tak pernah selesai.
Kini, ketika aku
menuliskan ini, aku sadar bahwa mungkin inilah akhir dari cerita yang bahkan
tidak pernah benar-benar dimulai. Senyap, tanpa kata perpisahan, tanpa tanda
tanya yang butuh jawaban. Hanya aku, Capricorn, yang harus melangkah menjauh
dengan hati yang masih setengah utuh.
Virgo akan terus
berjalan dengan dunianya, dan aku akan tetap mengingatnya sebagai sosok yang
pernah mengajarkan arti perhatian.
Dan di situlah
akhirnya hening, tanpa suara. Senyap di ujung cerita.
Ruang Putih
Oleh Septana Ramadhani
Ruang itu kosong. Dindingnya putih, lampunya redup,
kursinya dingin. Aku duduk sendirian.
Tadi ada keramaian: tawa, debat, derap langkah. Sekarang
tak ada lagi. Semua sudah pulang, menyisakan hening yang begitu pekat.
Aku menatap papan tulis yang penuh coretan tak berguna.
Betapa cepat sesuatu menjadi sia-sia setelah selesai dipakai. Mungkin begitu
juga dengan manusia. Selesai satu babak, kita hanya menyisakan senyap di
belakang.
Aku tersenyum tipis.
Barangkali memang begitu, setiap cerita harus tunduk pada
ujung.
Dan di ujung itu, yang menunggu hanyalah senyap.
Posting Komentar