Baru-baru ini, jagat media sosial dihebohkan oleh temuan grup Facebook bernama Fantasi Sedarah. Di balik nama yang menggugah rasa ngeri itu, tersembunyi kenyataan yang jauh lebih mencemaskan, lebih dari 32.000 anggota berbagi cerita, gambar, dan video yang mengangkat tema inses (hubungan seksual antaranggota keluarga) yang tak hanya menyimpang secara moral, tetapi juga melanggar hukum dan menodai nilai-nilai kemanusiaan.
Grup ini dibuat pada Agustus 2024 oleh seseorang berinisial MR dan sempat aktif dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya viral dan menjadi sorotan publik. Isinya jelas melanggar batas kesusilaan, narasi-narasi seksual bertema inses, gambar vulgar, dan bahkan eksploitasi anak. Setelah kontennya tersebar ke media sosial seperti X (dulu Twitter) dan Instagram, masyarakat ramai-ramai mengecam keberadaan grup ini. Reaksi cepat dari warganet tersebut akhirnya memicu penyelidikan oleh pihak kepolisian.
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menetapkan enam tersangka yang berperan sebagai admin dan penyebar aktif konten asusila dalam grup tersebut. Mereka ditangkap di berbagai wilayah di Indonesia, dengan barang bukti berupa 468 gambar dan 9 video pornografi, sebagian besar melibatkan anak-anak.
Para pelaku dijerat dengan berbagai pasal dari beberapa undang-undang, termasuk:
1. Undang-Undang ITE: Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1), terkait penyebaran konten melanggar kesusilaan secara elektronik.
2. UU Pornografi: Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008, tentang produksi dan distribusi konten pornografi.
3. UU Perlindungan Anak: Pasal 81 dan 82 UU No. 35 Tahun 2014.
4. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Pasal 14 ayat 1 huruf a dan b UU No. 12 Tahun 2022.
Pasal 55 dan 56 KUHP: Tentang turut serta melakukan tindak pidana.
Ancaman hukuman bagi para tersangka bisa mencapai 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp6 miliar. Namun, lebih dari sekadar hukuman, yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana bisa grup seperti ini tumbuh dan berkembang di ruang publik digital?
Penyelidikan digital forensik mengungkap fakta mencengangkan beberapa pelaku bahkan memproduksi sendiri konten asusila dengan korban dari keluarga mereka sendiri. Polisi terus menelusuri keberadaan korban dan kemungkinan grup sejenis yang masih aktif di media sosial lain.
Tak kalah penting, kita juga harus memahami dampak nyata dari hubungan inses terhadap anak yang dilahirkan. Secara medis, inses meningkatkan risiko kelainan genetik hingga 25–40%, jauh lebih tinggi dari populasi umum. Anak-anak hasil hubungan sedarah berisiko mengalami cacat lahir seperti spina bifida, bibir sumbing, penyakit genetik seperti anemia sel sabit, serta gangguan kognitif dan mental. Belum lagi beban psikologis dan stigma sosial yang akan mereka tanggung sepanjang hidup.
Kasus ini menjadi pukulan telak bagi kita semua, bagi negara, bagi platform media sosial, dan bagi masyarakat. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), bekerja sama dengan Meta sebagai pemilik Facebook, telah memblokir grup ini dan 30 tautan serupa. Namun, respons Meta dinilai lamban, karena grup tersebut sudah cukup lama beroperasi sebelum ditindak.
Harus ada pengawasan yang lebih tegas dari platform digital global seperti Meta. Grup dengan muatan menyimpang tidak boleh dibiarkan bertumbuh hingga menelan korban. Kita butuh teknologi yang lebih proaktif, bukan hanya reaktif, dalam menyaring dan menindak konten berbahaya.
Akhirnya, sebagai masyarakat, kita pun punya peran. Laporkan konten menyimpang. Edukasi generasi muda soal etika digital dan bahaya kejahatan siber. Jangan biarkan ruang digital kita menjadi tempat berkembangnya kebobrokan moral.
Posting Komentar