PUISI/SAJAK
Api dalam Sunyi
Oleh : Inaya Nadira Sari
Dalam sunyi, api menyala
Membakar sepi, memecah harap
Jiwa kuat, tak pernah pudar
Hadapi badai, tak pernah takut
Nyala besar, semangat abadi
Terangi gelap, lawan sunyi
Jiwa kuat, terus berjuang
Lalui batas, gapai bintang
Nyala Jiwa
Oleh : Inaya Nadira Sari
Jiwa berani, api membara
Menari bebas di dada ini
Nyala besar, kuat hadapi
Susah payah jadi berani
Jiwa kuat, tak kan padam
Dalam gelora, terus hidup
Jadi nyala, pemandu hati
Bawa cahaya, hancur gelap
Perjalanan PulangOleh : A
Pada sebuah cahaya baru yang disebut kehidupanPada kelam tak berujung bernama kematianPada titik semu antara dua perjalananSeorang anak manusia mengukir lembaranDari segumpal darah hingga menyatu dengan tanahApakah ia punya kompas penunjuk arah?Atau hanya berlabuh lalu singgahKapal itu dipandu nahkodaMengejar cahaya mercusuar yang menggodaDihantam ombak ditelan badaiNahkoda itu terus menggapaiCahaya emas di tombak bahteraGelora Api yang membaraCahaya berseri gugus polarisMenanti nahkoda dengan manisSudah saatnya berlabuhBeristirahatlah dengan sungguhPada asa yang mengudaraMenuju binar emas ujung samudera
SENANDIKA
Bara yang Menolak Padam
Oleh : Inaya Nadira Sari
Aku di sini, berdiri tegak meski banyak rintangan.
Semangatku terus menyala, tak pernah padam.
Meski lelah dan jatuh, aku tak menyerah.
Hatiku tetap berani, tak mau kalah.
Jiwa ini kuat, tak mudah runtuh.
Setiap luka menguatkan aku.
Setiap cobaan membentuk diriku.
Tak peduli seberapa keras dunia mencoba memadamkan nyalaku.
Aku akan terus berdiri, tak gentar.
Karena aku tahu, nyala ini adalah hidupku.
Dan aku akan menjaga agar tetap membara.
Cahaya dalam Sunyi
Oleh : Inaya Nadira Sari
Aku berjalan di antara sunyi,
sendiri tapi tak pernah merasa hilang.
Dalam dada ini, ada cahaya yang tak pernah redup,
meski angin ribut mencoba meredamnya.
Jiwaku bagai api yang tak lelah,
terus menyala meski hujan deras turun.
Kadang aku hampir lupa,
betapa kuatnya hati ini bertahan.
Aku sadar,
bahwa nyala ini bukan hanya milikku sendiri.
Ia hidup karena harapan,
karena cinta,
karena mimpi yang tak pernah lelah.
Dan aku tahu,
selama aku terus menjaga nyala ini,
aku akan selalu menjadi jiwa yang perkasa
tak pernah menyerah, tak pernah padam.
QUOTES
Oleh : Debby Gustia Fatma
“Langkah kaki mahasiswa mungkin lelah, tapi jiwanya tak pernah padam karena mimpi besar butuh nyala yang tak gentar.”
“Di balik tumpukan tugas dan malam-malam tanpa tidur, ada jiwa mahasiswa yang membara, bukan sekadar mengejar gelar, tapi menyalakan perubahan.”
CERPEN
Dua Dunia, Satu Nyala
Oleh : Debby Gustia Fatma
Jam dinding menunjukkan pukul 23.42. Aula kampus sudah sepi, hanya menyisakan cahaya redup dan sisa gelas kopi dingin. Di sudut ruangan, Aurel duduk bersila, matanya terpaku pada laptop yang menyala. PowerPoint rundown acara sudah beres, tetapi tangannya masih gemetar. Besok pagi ada ujian dan ia belum sempat membaca satu pun modul.
“Rel, istirahatlah. Besok kamu ujian,” ujar Bayu, rekan sesama panitia.
Aurel hanya mengangguk, lalu menunduk. Dalam hatinya, ia bertanya, “Kenapa harus pilih salah satu? Kenapa enggak bisa dua-duanya?”
Sebagai Ketua Pelaksana Festival Ilmiah Mahasiswa, ia membawa nama banyak orang. Namun, sebagai mahasiswa semester akhir, IPK-nya juga tak bisa dipertaruhkan. Ia tahu: jadi panitia itu pilihan, belajar itu kewajiban.
Pukul 01:00 dini hari, ia akhirnya pulang. Di kos, tubuhnya ingin rebah, tapi ia duduk membuka catatan. “Sebentar saja,” bisiknya. Tapi satu jam, dua jam, ia terus membaca bukan karena ingin sempurna, tetapi karena tidak ingin menyerah.
Pagi harinya, ia datang ke ruang ujian dengan mata panda dan buku catatan penuh coretan. Selesai ujian, ia lari ke aula. Acara dimulai, semua berjalan lancar. Tepuk tangan meriah. Senyum panitia merekah.
Hari itu, Aurel tidak sempurna di dua dunia. Tetapi ia memilih hadir sepenuh hati di keduanya. Dan dari situ, ia tahu jiwa perkasa bukan yang tak pernah lelah, tapi yang tetap menyala meski di antara dua medan perang.
Americano Tanpa Gula
Oleh : Debby Gustia Fatma
Meja kayu di sudut kafe itu sudah jadi tempat langganan Rani. Usianya 22 tahun, semester tujuh, dan satu-satunya yang tak berubah sejak awal kuliah adalah kopi pilihannya: Americano, tanpa gula.
“Pahit banget,” komentar temannya suatu hari.
“Iya,” jawab Rani singkat. “Biar rasanya jujur.”
Ia kuliah di jurusan Manajemen. Pilihan orang tua, katanya, “biar gampang cari kerja.”
Padahal hatinya selalu berdebar tiap kali menulis, tiap kali membuka dokumen kosong lalu menuangkan pikirannya jadi cerita. Tetapi kata ayahnya, “Nulis bisa jadi hobi. Kerja harus realistis.”
Empat tahun sudah berlalu. IPK-nya lumayan. Magang sudah dua kali. Namun, tiap kali ditanya mau kerja apa, Rani hanya bisa diam. Rasanya seperti sedang berdiri di antrean panjang menuju pintu yang tak ingin ia masuki.
Sore itu, hujan turun pelan. Di hadapannya, laptop terbuka, skripsi menunggu diedit. Tetapi jari-jarinya justru mengetik paragraf baru tentang perempuan muda yang tersesat di kota besar, mencari arti kata ‘cukup’ dalam hidupnya.
Barista datang mengantarkan pesanan. “Americano ya, Kak. Seperti biasa.”
Rani tersenyum kecil. “Iya. Terima kasih.”
Ia menatap permukaan kopi yang hitam pekat. Pahit. Tidak manis. Tetapi hangat. Seperti hidupnya: belum sesuai impian, tetapi tetap nyata, tetap dijalani.
Mungkin ia belum tahu apakah akan jadi penulis. Mungkin tetap kerja di kantor seperti kata orang tua. Tetapi di satu sisi dirinya yang kecil, nyala itu belum padam.
Dan kadang, dalam tegukan Americano tanpa gula, Rani merasa itu cukup untuk sekarang.
Posting Komentar