RASA 5 : Nyala Membara Jiwa Perkasa

 

PUISI/SAJAK

Diantara Malam dan Angan

Oleh : Elvina Mulyani Yusadi


Dalam kesunyian malam ini
Hati resah, pikiran penuh
Sejuta tanya meraup di kepala 
Membuatku tak sanggup menutup mata 

Di jalan yang panjang ini 
Kemana lagi aku harus melangkah 
Menapaki jejak yang tak ada habisnya
Sementara lelah mulai mengetuk kesadaran jiwa

Angan itu terasa semakin sulit untuk digapai
Semakin terasa berat di jalani
Dunia seakan menarikku semakin jauh 
Dari titik yang kuimpikan

Namun, di balik kabut keraguan,
Ada bisik lembut yang tetap bertahan.
Bukan teriakan, bukan sorak sorai,
Melainkan harapan kecil yang tak ingin usai

Jiwa yang Luka

Oleh : Elvina Mulyani Yusadi

Di relung sunyi jiwa yang luka
Ada cahaya kecil yang tak pernah sirna
Itu impian benih surga dalam dada
Yang menyala, membara, menantang dunia

Tak mudah jalan yang ia tempuh
Kerikil tajam, angin yang meruntuh
Namun jiwanya bukan dari debu biasa
Ia ditempa badai, disusun oleh asa

Impian bukan sekadar angan
Tapi janji pada diri yang tak ingin tenggelam
Ia bak api yang menolak padam
Meski dihujani kecewa dan dendam

Jiwa perkasa tak butuh sorak
Cukup tekad dan mimpi yang tak retak
Ia tahu, harapan bukan ilusi fana
Tapi jalan panjang menuju cahaya

Dengan nyala di dada yang tak henti menyala
Ia mendaki tanpa tanya kapan tiba
Sebab bagi jiwa perkasa yang percaya
Impian bukan mungkin…

Melainkan pasti jika setia.

SENANDIKA

Oleh : Hafifah

Setiap sunyi yang menyelimutiku selalu menumbuhkan harapan demi harapan untuk menemani sepiku. Sebab aku tahu, sepi bukan akhir, ini hanyalah ruang untukku menyiapkan diri menyambut kehangatan yang akan datang.

Oleh : Hafifah
Mimpiku begitu besar bahkan begitu tinggi, sedangkan aku selalu memiliki rasa ketakutan.
Namun, di balik ketakutan itu, ada nyala yang tak pernah padam sebuah bara kecil dalam dada yang terus membisikkan, “Langkahlah, walau gemetar.”


QUOTES

Oleh : Jihan Rahma Dhani Fitri

“Saya gagal. Saya coba lagi.”

“Tidak semua gagal akan berakhir dengan kegagalan.”

CERPEN

Nyala Jiwa di Lereng Bukit Barisan

Oleh : Cindy Putri Maharani

Api unggun berkobar di tepi Danau Maninjau yang tenang. Asap mengepul tinggi, seolah membawa doa-doa ke langit berbintang di atas Bukit Barisan. Di sekitar api itu, duduk seorang pemuda bernama Arjuna, menatap nyala yang menari-nari dengan tatapan kosong, sementara angin sejuk dari danau membawa aroma pandan dan kayu manis.

Sudah tiga bulan berlalu sejak keluarganya tewas dalam kebakaran besar yang melahap kampung halamannya di lereng Gunung Singgalang. Kini, ia hidup sebatang kara, mengembara dari nagari ke nagari di Ranah Minang, mencari makna dari tragedi yang menimpanya.

“Mengapa hanya aku yang selamat?” gumamnya pada api yang mulai meredup. “Mengapa bukan aku yang ikut pergi bersama mereka?”

Angin malam dari arah Bukittinggi bertiup, membuat nyala api bergoyang lebih keras. Dalam kesunyian itu, terdengar suara langkah kaki mendekat. Seorang kakek tua dengan peci hitam dan tongkat kayu muncul dari balik pohon kelapa sawit.

“Assalamu’alaikum, anak mudo. Bolehkah bapak ikut menghangatkan diri?” tanya kakek itu dengan logat Minang yang kental.

Arjuna hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari api. Kakek itu duduk bersila di seberangnya, ikut menatap kobaran yang semakin kecil sambil mengusap jenggot putihnya.

“Api itu cantik, bukan?” kata kakek tua itu. “Tetapi, tahukah kamu, api yang paling indah justru lahir dari kehancuran?”

Arjuna mengangkat kepala, menatap wajah berkerut kakek itu dengan heran.

“Kayu yang terbakar telah mati, hancur, musnah,” lanjut sang kakek. “Tapi dari kehancurannya, lahirlah cahaya yang menghangatkan, nyala yang memberi harapan di kegelapan.”

“Lalu apa gunanya bicara tentang api?” tanya Arjuna dengan nada pahit. “Keluargaku mati karena api. Api hanya membawa kehancuran.”

Kakek itu tersenyum tipis. “Api memang bisa menghancurkan, tetapi api juga bisa menyucikan. Seperti jiwa manusia, Nak. Ketika kita menghadapi cobaan yang dahsyat, kita bisa memilih: menjadi abu yang berserakan tertiup angin, atau menjadi nyala yang membara, menerangi jalan bagi orang lain.”

Arjuna terdiam. Di dalam dadanya, sesuatu mulai bergerak. Seperti ada yang mencoba bangkit dari abu kesedihan yang selama ini menguburnya.

“Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa,” bisik Arjuna. “Aku tidak punya apa-apa lagi.”

“Justru itu kekuatanmu,” kata kakek itu sambil melempar ranting kering ke api. Nyala kembali membesar. “Orang yang tidak punya apa-apa untuk dilindungi justru paling berani mengambil risiko. Orang yang sudah merasakan kehilangan terdalam justru paling mengerti makna kepedulian.”

Kakek itu berdiri perlahan, menepuk bahu Arjuna dengan lembut.

“Besok pagi, pergilah ke nagari sebelah timur, dekat dengan Lembah Harau. Di sana ada sekolah yang hampir roboh, anak-anak yang putus sekolah karena tidak ada guru. Mereka butuh seseorang yang pernah merasakan kegelapan tapi masih mau menyalakan pelita.”

“Tapi aku bukan guru. Aku tidak pandai mengajar.”

“Yang mereka butuhkan bukan kepandaian, tapi jiwa yang perkasa. Jiwa yang sudah dibakar oleh cobaan tapi tidak mau padam.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, kakek tua itu melangkah pergi, menghilang di balik kegelapan. Arjuna duduk sendirian lagi, tapi kali ini perasaannya berbeda. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang mulai menyala.

Keesokan harinya, Arjuna berjalan melewati sawah-sawah bertingkat dan kebun cengkeh menuju timur. Langkahnya mantap menapaki jalan setapak yang berkelok di antara bukit-bukit hijau. Ketika dia sampai di nagari yang dimaksud kakek tua itu, dia melihat tebing-tebing kapur Lembah Harau menjulang megah di kejauhan, sementara puluhan anak kecil bermain di halaman sekolah yang memang nyaris roboh. Seorang anak perempuan mendekatinya. “Kakak siapa? Mau ngapain di sini?”

“Aku mau jadi guru kalian,” jawab Arjuna dengan suara yang untuk pertama kalinya terdengar yakin.

“Tetapi sekolah ini sudah mau roboh, Kak. Guru-guru yang lain sudah pergi semua.”

Arjuna tersenyum, menatap bangunan tua itu dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu, kita bangun yang baru. Kalian mau bantu?”

Anak-anak itu saling pandang, lalu berteriak girang, “Mau!”

Bulan-bulan berlalu. Dengan bantuan warga nagari dan gotong royong anak-anak, sekolah baru perlahan mulai berdiri. Mereka menggunakan kayu meranti dari hutan sekitar dan genteng tanah liat buatan pengrajin lokal. Arjuna tidak hanya mengajar, tapi juga membangun. Tidak hanya memberi pelajaran, tapi juga memberi harapan.

Setiap malam, dia masih menyalakan api unggun di halaman sekolah yang menghadap ke Lembah Harau. Tapi kini bukan lagi untuk meratapi masa lalu. Api itu menjadi simbol semangat yang tidak pernah padam, nyala yang terus membara meski angin kencang dari lembah datang menerpa.

Suatu malam, ketika dia sedang menyiapkan pelajaran di samping api unggun, seorang anak laki-laki mendekatinya.

“Pak Guru, kenapa Bapak selalu menyalakan api setiap malam?”

Arjuna mengangkat kepala, menatap wajah polos anak itu dengan senyum hangat.

“Karena api ini mengingatkanku bahwa dari kehancuran, kita bisa melahirkan cahaya. Dari abu kesedihan, kita bisa menumbuhkan kekuatan. Dan dari jiwa yang pernah terluka, kita bisa melahirkan keperkasaan yang sesungguhnya.”

Anak itu mengangguk tidak begitu mengerti, tapi dia merasakan kehangatan yang terpancar dari mata gurunya.

“Pak Guru tidak sedih lagi?”

“Sedih masih ada,” jawab Arjuna jujur. “Tapi sekarang aku tahu bahwa kesedihan bukan untuk ditakuti atau dihindari. Kesedihan adalah bahan bakar yang membuat jiwa kita terbakar lebih terang.”

Di langit, bintang-bintang bersinar seperti api-api kecil yang tidak pernah padam. Arjuna menatapnya dengan hati yang damai. Dia akhirnya mengerti bahwa jiwa perkasa bukan jiwa yang tidak pernah jatuh, tapi jiwa yang bangkit setiap kali terjatuh, dan dari kebangkitannya itu, menyalakan semangat orang lain.

Api unggun itu terus berkobar, seperti nyala membara yang ada di dalam jiwanya. Nyala yang tidak akan pernah padam, karena sudah menemukan tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri: menjadi cahaya bagi orang lain di tengah kegelapan.

Dan di nagari kecil itu, setiap malam, anak-anak bisa melihat cahaya yang berpendar dari arah sekolah mereka, dengan latar belakang siluet tebing-tebing Lembah Harau yang menjulang. Bukan hanya cahaya api unggun, tapi cahaya harapan yang dipancarkan oleh seorang guru yang jiwanya telah ditempa oleh cobaan, dan justru karena itu, menjadi perkasa seperti semangat pantang menyerah orang Minang.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama