RASA 3 : Cahaya Perempuan, Cahaya Perubahan

 

PUISI/SAJAK

Langkah dalam Senja

Oleh Debby Gustia Fatma

Di koridor waktu yang panjang

Aku melangkah, meski lelah terjengah

Tugas dan ujian, deretan panjang

Namun semangatku tak pernah kendur

Meski dalam senja


Setiap malam yang sunyi dan panjang

Aku membaca, meski mata terasa berat

Setiap kata yang kubaca, setiap rumus yang kupahami

Menjadi cahaya yang menerangi jalan panjang


Meski ada keraguan, meski ada takut

Aku yakin, setiap langkah ada arti

Perjuangan ini bukan untuk sekejap

Tapi untuk masa depan yang tak terbatas


Suara Generasi Z

Oleh Debby Gustia Fatma

Kita adalah suara yang lantang

Menggema di media sosial, di jalan

Kita berbicara tentang keadilan, tentang perubahan

Tentang dunia yang lebih baik untuk semua


Kita tidak takut untuk bersuara

Untuk menyuarakan pendapat, untuk berani

Kita adalah generasi yang peduli

Dengan isu-isu yang mempengaruhi kita dan dunia


Kita mungkin berbeda, kita mungkin unik

Tapi kita semua memiliki tujuan yang sama

Membangun dunia yang lebih baik

Di mana setiap suara didengar dan dihargai


SENANDIKA

Cahaya yang Menyala dalam Diri

Oleh Firyal Fauziah Ghina Syanmid


Aku berjalan dalam gelap, tak tahu arah. Dunia terlalu riuh, terlalu bising untuk sekadar

mendengar detak jantungku sendiri. Tapi di dalam dada ini, ada yang tak pernah

padam seberkas cahaya. Bukan dari luar, bukan dari pujian, bukan dari sorotan. Cahaya ini

tumbuh dari luka, dari jatuh, dari bangkit yang kupaksakan meski gemetar.

Mereka bilang aku perempuan, maka aku harus lembut. Tapi siapa bilang cahaya harus selalu

redup? Aku berubah bukan karena dunia memintaku kuat, tapi karena aku tak mau lagi

sembunyi dalam bayang sendiri. Perubahan ini menyakitkan, tapi di sanalah aku temukan

sinar paling jujur: diriku yang utuh.


“Perempuan yang Menjadi Fajar”


Aku perempuan, dan aku adalah fajar. Aku datang tak dengan teriakan, tapi perlahan

membelah langit gelap.

Dulu, aku takut berubah. Aku pikir, perubahan adalah kehilangan. Tapi ternyata, perubahan

adalah kelahiran kedua lahirnya versi diriku yang lebih terang, lebih tegas, dan lebih

mencintai dirinya sendiri.

Aku bukan lagi bayang-bayang dari ekspektasi mereka. Aku adalah cahayaku sendiri. Tak

selalu silau, tapi cukup untuk menuntunku keluar dari kegelapan. Dan kini, aku tidak lagi

menunggu terang. Aku adalah terang.


QUOTES

Oleh Almah Albearty Nawipa

“Perempuan bukan sekadar penerima cahaya, tapi ia adalah sumbernya yang diam-diam menyalakan bara perubahan dari hal-hal sederhana yang sering diabaikan.”


“Dari tatap mata yang tenang dan langkah yang lirih, perempuan membawa cahaya. Bukan cahaya yang menyilaukan, tapi yang menuntun; menuju perubahan yang tak banyak bicara, tapi terasa.”


CERPEN

Langkah di Balik Gerbang Kampus

Oleh Khairannisa

Namaku Raka. Aku bukan siapa-siapa. Bukan ketua BEM, bukan orator andal, apalagi anak pejabat kampus. Aku cuma mahasiswa biasa dari Jurusan Pendidikan Sejarah. Anaknya tukang ojek online dari pinggiran kota, yang masuk kuliah karena beasiswa dan mimpi kecil untuk jadi guru suatu hari nanti.


Tapi hari itu, aku berdiri di depan gerbang kampus, memegang poster karton yang mulai lepek kena hujan. Tulisan di atasnya sudah setengah pudar: 

“Pendidikan Bukan Barang Dagangan.”


Hujan tipis turun seperti diam-diam menangisi kami yang berdiri dalam dingin, tapi semangatku justru semakin panas. Ini bukan cuma soal angka di brosur UKT. Ini soal ayahku yang harus narik sampai tengah malam, soal ibuku yang pura-pura kuat padahal jelas wajahnya kelelahan saat video call. Ini soal mimpi-mimpiku yang pelan-pelan terasa seperti barang mewah.


“Kamu yakin, Rak?” tanya Dina, sahabatku sejak ospek. “Kalau nanti kamu disorot,

kamu kuat?”

Aku menoleh ke arahnya. “Kalau aku diam, aku nggak kuat.”


Tiga hari kami duduk di depan gerbang itu. Suara serak, tubuh pegal, mata perih karena kurang tidur. Tapi hati kami? Penuh. Setiap malam sebelum tidur, aku dengar lagi suara ibuku yang lirih lewat pesan suara:


“Ayahmu nggak pernah ngeluh, Nak. Tapi Ibu tahu dia capek. Kalau bisa, kamu

fokus belajar ya. Biar perjuangan Ayah nggak sia-sia.”


Itu seperti bensin di bara semangatku. Aku tahu, diam itu bukan pilihan. Hari keempat, aku berdiri di depan massa. Dina menyerahkan megafon ke tanganku. Suara gemetar. Tangan dingin. Tapi saat aku mulai bicara, kata-kata keluar seperti air yang mengalir deras.


“Aku nggak bicara sebagai aktivis, aku bicara sebagai anak dari tukang ojek yang pengen kuliah dengan layak. Yang pengen jadi guru. Yang pengen pendidikan itu adil, bukan cuma buat yang mampu.”


Saat aku selesai, tak ada tepuk tangan. Tapi ada diam panjang yang dalam. Diam yang lebih lantang dari teriakan. Diam yang berarti mereka mendengar.


Seminggu setelahnya, kami akhirnya dipanggil berdialog oleh pihak rektorat. Aku duduk di ruangan dingin ber-AC, berhadapan dengan orang-orang berjas rapi. Tapi aku teta berbicara, membawa suara dari ratusan mahasiswa yang berdiri di belakangku. Dan saat surat keputusan itu turun, mataku nyaris basah, skema UKT dikaji ulang. Mahasiswa dengan kondisi ekonomi sulit bisa ajukan keringanan. Itu belum kemenangan, tapi itu langkah pertama. Aku kirim pesan ke Ibu:


“Bu, aku nggak berhenti. Tapi hari ini, kita bisa senyum sebentar.”


Sekarang, setiap kali aku melewati gerbang kampus, aku menunduk sebentar. Bukan karena takut. Tapi karena hormat. Di situ, aku pernah berdiri. Dengan tubuh basah, suara gemetar, dan hati penuh harapan. Langkah kecil, ya. Tapi langkah itu membuatku tahu, bahkan mahasiswa biasa pun bisa mengubah arah.



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama