RAPI 11 : Banyak Kasus TBC Tidak Terdeteksi, Apakah Kemenkes Kecolongan?


Mengapa masih banyak kasus Tuberkulosis (TBC) yang belum terdeteksi?


Hal ini dikarenakan banyaknya penderita Tuberkulosis (TBC) yang tidak menyadari gejala paparan TBC tersebut. Selain itu, masih banyaknya kasus TBC yang belum terdeteksi, karena masih banyak masyarakat tidak mau memeriksakan kesehatannya ke dokter. Alasannya bisa jadi, karena takut akan persepsi orang-orang sekitar terhadap pengidap penyakit TBC. Selain itu, ada juga yang menganggap dirinya hanya terkena sakit demam biasa dan lain sebagainya.


Penderita yang terinfeksi TBC mungkin saja tidak menunjukkan gejala, biasanya kondisi ini disebut infeksi laten (kondisi ketika organisme penyebab penyakit yang ada dalam tubuh manusia, tetapi tidak menimbulkan gejala atau tanda-tanda penyakit yang jelas pada saat itu). Selain itu, banyaknya masyarakat yang tidak mempedulikan gejala yang timbul akibat terpapar TBC, seperti batuk yang berlangsung lama (lebih dari 2 minggu, kadang bisa menyebabkan batuk berdarah), nafsu makan menurun yang menyebabkan penurunan berat badan secara tiba-tiba, kelelahan, dan lainnya. Gejala-gejala ini kadang diabaikan begitu saja dan dianggap seolah-olah hanya penyakit batuk biasa.


Hal ini dapat menyebabkan semakin banyaknya kasus TBC di Indonesia yang tidak terdeteksi, karena penderita TBC dapat menyebarkan penyakit ini tanpa penderita tersebut mengetahui atau menyadarinya. 


Untuk beberapa usaha pemerintah dalam menangani masalah tersebut, seperti Pengobatan DOTS (Directly Observed Treatment, Short-Course), Penyediaan Diagnostik dan Pengobatan Gratis, Upaya Preventif dan Promotif Penyakit TBC, Peningkatan Akses Layanan untuk Penyakit TBC, serta Kolaborasi dengan Organisasi Internasional dalam melakukan upaya pemberantasan TBC. Dan sebenarnya sudah tepat dalam mengatasi TBC. Namun kekurangannya, yakni kurang dilakukan secara konsisten, sehingga masih banyak usaha yang tidak mendapatkan hasil maksimal. Hal ini terbukti dari masih banyaknya kasus terkait penderita TBC yang terdeteksi.


Pemerintah Pusat juga telah melakukan beberapa hal salam menangani kasus TBC, yakni dengan mengeluarkan anggaran dana untuk membantu mengurangi tingkat kasus TBC yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari meningkatkan akses pelayanan kesehatan serta saran dan prasananya di rumah sakit/puskesmas, ataupun di tempat layanan kesehatan di kawasan daerah 3T. Selain itu, pemerintah juga memberikan edukasi kepada masyarakat melalui nakes dan menempatkan tenaga kesehatan yang ahli dalam penyakit TBC di daerah dengan jumlah kasus terbanyak terutama didaerah 3T. Dan yang terakhir, pemerintah juga mengeluarkan peraturan mengenai penanggulangan TBC sebagai strategi nasional dalam menghadapi lonjakan kasus TBC di Indonesia. Usaha pemerintah pusat tersebut sudah tepat, namun dari pemerintah daerah terkadang kurang tepat mengenai sasarannya, terutama mengenai pengelolaan anggaran dana. Banyak permasalahan yang terjadi pada pemerintah daerah, seperti menggelapkan anggaran dana penyakit menular yang ada di Indonesia. Hal ini sering dilakukan oleh beberapa oknum yang tak bertanggung jawab. 


Maka dari itu, hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kasus TBC di Indonesia, yaitu dengan melakukan upaya preventif dan promotif dalam menangani penyakit TBC. Dengan melakukan upaya preventif dan promotif ini diharapkan masyarakat dapat memiliki pengetahuan mendalam mengenai penyakit TBC ini. Karena hal utama yang diperlukan untuk melakukan perubahan adalah mengetahui hal apa yang akan diubah, sehingga dapat melaksanakan perubahan dengan hasil maksimal. Selain itu, tenaga kesehatan terkait bekerja sama dengan pemerintah atau melakukan advokasi kepada pemerintah untuk mengadakan beberapa program yang tepat dalam pencegahan infeksi TBC ini.

Karena terjadi kekurangan pencerdasan bagi siswa sekolah dasar, terlebih di daerah tidak terjangkau internet. Pemerintah bisa kembali memfasilitasi tenaga kerja dari pusat untuk menjangkau dan memberikan sosialisasi bagi masyarakat pedalaman. Bersama dengan sosialisasi dari tenaga kesehatan, juga bisa dilakukan tes kesehatan mengenai perkembangan penyebaran penyakit TBC itu sendiri. Dalam sosialisasinya juga bisa dilakukan penyebaran poster dengan promosi kesehatan. Selain mencegah, masyarakat juga bisa teredukasi dan tentu saja menjadi penyambung tangan dari tenaga keseatan bagi lingkungan sekitarnya dengan pengetahuan yang didapatnya.


Lalu sebagai seorang sarjana kesehatan masyarakat (SKM), hal yang dapat dilakukan adalah melakukan sosialisasi tentang bagaimana gejala, pencegahan, penanggulan TBC. Selain itu, sarjana SKM juga dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap penderita TBC, agar penderita TBC lebih mudah terdeteksi, sehingga bisa langsung diberikan penanganan yang tepat.


Ataupun sebagai seorang sarjana gizi (S.Gz), langkah yang dapat dilakukan dalam mengatasi lonjakan kasus TBC di Indonesia adalah dengan memberikan penyuluhan dan pemberian informasi pada masyarakat mengenai asupan gizi seimbang. Selain itu, kita dapat memberikan edukasi mengenai bahayanya TBC, mulai dari pengertiannya, dampak, gejala, bahkan cara mengatasi atau cara menangani kasus TBC yang ada di Indonesia kepada masyarakat. Dengan harapan, agar meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai TBC, sehingga mampu membedakan mana penderita dengan gejala TBC dan mana yang tidak. 


Selain itu, kita dapat bekerjasama dengan pemerintah untuk menciptakan program penanggulangan TBC yang berhubungan dengan asupan kebutuhan dan pola hidup masyarakat, terutama di daerah kawasan 3T, serta  menyebarkan tenaga kesehatan yang berpengalaman untuk dapat membantu dan ikut serta dalam menangani dan mengurangi kasus TBC yang ada di Indonesia.


Anisa, Sabrina Rachel Assyifa, Mazaya Aurellia Ghaisani, Filzahira Walljismi, dan Muhammad Gusri Kurniadi.

UKPM Pena KM FKM Unand

Generasi Arunakara 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama