Kasus tragis yang menimpa Timothy Anugerah, mahasiswa Universitas Udayana, menjadi peringatan bagi banyak pihak bahwa kampus yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman bagi mahasiswa masih bisa menjadi lokasi terjadinya bullying. Tragedi ini menunjukkan bahwa bullying di lingkungan akademik bukan sekadar masalah individu, tetapi juga persoalan budaya dan sistem yang perlu ditangani secara serius.
Banyak yang berpendapat bahwa tanggung jawab kampus sangat besar dalam mencegah bullying. Universitas bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi juga ruang sosial di mana mahasiswa membangun karakter, empati, dan nilai kemanusiaan. Tanggung jawab ini bersifat moral, hukum, dan institusional. Tidak cukup hanya memberi sanksi kepada pelaku, kampus juga harus menciptakan budaya anti-bullying melalui edukasi karakter, sistem pelaporan yang aman, serta pendampingan psikologis bagi seluruh mahasiswa. Beberapa langkah yang dianggap efektif antara lain pendidikan anti-bullying sejak orientasi mahasiswa baru, pembentukan satgas penanganan kekerasan yang responsif, serta layanan konseling yang rahasia dan profesional.
Langkah pemecatan enam mahasiswa pelaku bullying memang menunjukkan ketegasan kampus. Namun, banyak pihak menilai bahwa sanksi administratif saja tidak cukup. Hukuman hanya menyentuh permukaan masalah, sementara akar bullying sering kali terletak pada budaya sosial yang permisif terhadap ejekan atau tekanan kelompok. Pendekatan sistemik lebih dibutuhkan, seperti pembinaan karakter, pelatihan dosen untuk mendeteksi tanda-tanda bullying, sistem pelaporan anonim, dan pendampingan psikologis bagi korban dan pelaku agar tidak terjadi kekerasan yang sama di masa depan.
Teman sebaya dan kelompok mahasiswa juga memegang peran penting. Mereka bisa menjadi pelindung atau justru pemicu bullying. Lingkungan pertemanan yang sehat dan suportif dapat mencegah bullying, misalnya dengan memberikan dukungan emosional kepada korban, menegur pelaku, dan menumbuhkan budaya saling menghargai. Beberapa mahasiswa menekankan pentingnya komunitas pendamping sebaya atau peer counselor yang terlatih untuk mendeteksi dan merespons tanda-tanda distress. Dengan begitu, bullying dapat dicegah sejak awal dan korban mendapatkan perlindungan sosial yang nyata.
Di era digital, media sosial turut memperparah dampak bullying. Penyebaran tangkapan layar, candaan, dan komentar merendahkan dapat membuat trauma korban berkepanjangan, bahkan setelah kejadian fisik selesai. Kampus perlu merespons hal ini dengan tegas melalui kebijakan etika bermedia sosial, edukasi literasi digital, dan tim pemantau konten daring yang merugikan. Dengan pendekatan yang komprehensif, bullying daring dapat diminimalisir dan korban mendapatkan rasa aman.
Dampak bullying terhadap kesehatan fisik dan mental korban sangat serius. Stres, depresi, gangguan tidur, sakit kepala, hingga penurunan daya tahan tubuh adalah sebagian konsekuensi yang mungkin dialami. Untuk itu, kampus harus menyediakan layanan konseling profesional yang berkelanjutan, ruang support group, dan pendampingan sosial. Keterlibatan dosen dan staf akademik dalam mendeteksi perubahan perilaku mahasiswa juga sangat penting agar korban bisa pulih secara menyeluruh.
Tragedi yang menimpa Timothy menjadi pengingat bahwa kampus harus menjadi rumah aman bagi mahasiswa, tempat mereka belajar, tumbuh, dan mengembangkan diri tanpa takut diintimidasi atau direndahkan. Pencegahan bullying bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi tanggung jawab seluruh civitas akademika. Melalui edukasi, kebijakan tegas, dukungan psikologis, dan budaya saling menghargai, kampus dapat menjadi lingkungan yang benar-benar mendukung perkembangan akademik dan sosial mahasiswa.
Responden:
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas



Posting Komentar