ANALISIS KRISIS KEPATUHAN: URGENSI PENINGKATAN KESADARAN HUKUM DI INDONESIA

Indonesia secara konstitusional ditegaskan sebagai negara hukum, sesuai pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Namun, kenyataannya banyak masyarakat yang "katanya" warga Indonesia asli masih sering tidak taat pada hukum. Pelanggaran terjadi dari hal kecil seperti sering menyerobot antrian beli mixue, trotoar yang diserobot motor, hingga yang terparah, kasus korupsi. Kita seolah-olah hidup dalam krisis kepatuhan. Masalahnya bukan lagi pada ketersediaan undang-undang, melainkan pada Kesadaran Hukum warga negara.


Kesadaran hukum merupakan sikap mental yang melampaui rasa takut pada denda atau penjara. Ini dapat disebut sebagai keyakinan batin, semacam "insting sosial", yang membuat seseorang tetap jujur meskipun tidak diawasi.


Menurut Soerjono Soekanto, kesadaran ini memiliki jenjang kematangan:


  • Tingkat Pengetahuan (Tahu): Hanya sekadar tahu aturan itu ada.
  • Tingkat Pemahaman (Paham): Mengerti mengapa aturan itu dibuat.
  • Tingkat Sikap (Setuju): Meyakini aturan itu adil dan bermanfaat.
  • Tingkat Perilaku (Praktik): Ini adalah puncaknya, di mana warga menerapkan hukum secara nyata dan aktif berpartisipasi menegakkannya.

Sayangnya, sebagian besar WNI "asli" masih berada di level tahu atau paham, dan jarang mencapai level Perilaku Hukum sejati. 


Fakta di lapangan menunjukkan, ada lima faktor utama yang secara sistematis merusak kesadaran hukum warga:


  1. Rendahnya Pendidikan: Pendidikan yang rendah membuat pemahaman terhadap hukum dangkal. Kita cenderung mengabaikan apa yang tidak kita pahami.
  2. Kredibilitas Aparat Penegak Hukum (APH): Ini adalah faktor paling krusial. Ketika APH sendiri berpraktik korup, tidak transparan, atau tebang pilih, kepercayaan publik otomatis hancur. Bagaimana masyarakat bisa sadar hukum jika "wakil hukum" mereka sendiri melanggar? 
  3. Dominasi Norma Lokal: Norma lokal atau kebiasaan (misalnya, membuang sampah sembarangan) lebih kuat daripada aturan negara.

Dampak Media dan Teknologi: Media menyebarkan informasi hukum, tetapi juga cepat menyebar opini negatif dan skeptisisme yang membentuk sikap antipati terhadap sistem.


Ketidakadilan Sosial-Ekonomi: Hukum dianggap tidak berpihak. Bagi kelompok rentan, melanggar mungkin dianggap satu-satunya cara bertahan hidup, terutama jika mereka merasa tidak ada keadilan ekonomi.


Rendahnya kesadaran ini bukan hanya merugikan pribadi, tetapi juga menghambat pembangunan nasional (Kartini, 2020).


Jika kita berhasil meningkatkan kesadaran hukum, dampaknya akan sangat bagus, yang dikenal sebagai hasil dari martabat dan keadilan:


  • Kita dapat melindungi hak kita dan hak orang lain secara setara.

  • Kesadaran hukum menciptakan keteraturan dan mengurangi konflik.

  • Bangsa yang warganya taat hukum adalah bangsa yang beradab dan dihargai dunia.

Maka, PR besar kita adalah mentransformasi hukum dari sekadar alat pengatur menjadi cerminan moral (Dewanta, 2021). Kesadaran hukum harus dipaksa naik dari sekadar tahu menjadi bertindak demi keadilan bersama. Ini adalah satu-satunya jalan menuju negara hukum yang benar-benar berdaulat.


Oleh: Kelompok 7 Bahasa Indonesia

M. Hasbi Zikrillah 2511221006

Tria Luthfia 2511211028

Zahwa Faizul 2511222006

Fauzan Firdaus 2511222024

Keysa Uliana Najla Putri 2511212058

Alya Mukhbita Mawardi 2511223003

Chelsi Gastika Festi 2511213012

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama