RASA FKM 6: Suara Tak Terdengar

 


Puisi/Sajak

Mereka yang Tak Didengar
Oleh Muhammad Fadhil Akbar

Ada bisikan lembut di sudut-sudut jalan,
dari mulut-mulut lelah yang terbungkam.
Suara itu hidup, tetapi terabaikan,
dilupakan oleh hiruk-pikuk di atas mereka.

Mereka bicara lewat langkah yang patah,
melalui tangan-tangan yang mengangkat beban.
Namun, siapa yang peduli pada cerita mereka,
yang tak sampai di meja-meja kebijakan?

Suara mereka tersangkut di pagar tinggi,
di mana janji-janji bergema kosong.
Mereka hanyalah gema samar,
terbawa angin tanpa pernah terhenti.

Di dalam hati mereka ada nyala,
meski kecil, tak mudah padam.

Karena meski suara mereka tak terdengar,
impian mereka tetap hidup,
bersembunyi dalam setiap tarikan napas,
berbisik pelan,
"Kami masih di sini”

Sorak, Sepi Bersama
Oleh Rajwa Naylathul Izza

Di tengah sunyi, aku berteriak agar ramai. 
Berbicara pada angin, bergumam tuju pada Tuhan,
akankah ramai kian datang?
Bersorak, tetapi suaraku tak terdengar.

Bagai berdiri di tengah samudra, bergemuruh, tetapi tetap sepi.


Quotes

Oleh Dhiny Aulia Ramadhani 

"Suara yang tak terdengar bukan berarti tidak ada, ia hanya menunggu hati yang mampu mendengarkannya."

"Dalam keheningan, kata-kata tanpa suara mampu menyampaikan lebih dari sekadar ucapan."

"Ketika dunia tidak mendengar, suara kita tetap bergema dalam ruang hati sendiri."



Cerpen

Suara yang Tak Terdengar
Oleh Anggi Ramadhani

Di kota kecil yang dikelilingi bukit-bukit hijau, tinggal seorang gadis bernama Nara. Ia bukan gadis biasa, ia tidak mampu berbicara. Sejak lahir, suaranya tidak pernah keluar. Namun, Nara memiliki mata yang berbicara lebih banyak dari sekadar kata-kata.

Setiap pagi, Nara duduk di taman dekat alun-alun, menggambar dunia sekitarnya di atas kertas lusuh yang selalu ia bawa. Penduduk kota mengenalnya sebagai "Si Sunyi"—bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka tak pernah mencoba mendengarnya. Setiap orang sibuk dengan urusan masing-masing, terburu-buru mengejar sesuatu yang bahkan mereka sendiri tak paham.

Namun, di balik senyap nya, Nara melihat semua yang tak diperhatikan orang lain. Ia melihat senyuman seorang anak kecil yang menatap Burung Pipit, ia melihat kesedihan di mata lelaki tua yang duduk sendirian di bangku taman, dan ia memahami kesunyian itu, karena ia sendiri adalah keheningan itu.

Suatu sore, langit mulai mendung. Hujan rintik-rintik turun dan perlahan berubah menjadi deras. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, tetapi Nara tetap di sana, memandang air yang jatuh dari langit seolah-olah itu adalah bisikan rahasia dari alam semesta. Tiba-tiba, seorang pemuda bernama Arya yang sering memperhatikannya dari kejauhan mendekat, basah kuyup.

"Aku tahu kau mungkin tak bisa bicara," katanya perlahan, napasnya sedikit terengah. "Tapi aku selalu penasaran, apa yang kau coba sampaikan lewat gambar-gambar mu?".

Nara menatapnya dengan mata besar penuh rasa ingin tahu. Perlahan, ia menyerahkan gambar terakhir yang ia buat. Itu adalah sketsa alun-alun dengan orang-orang berlari, tapi di tengah gambar, ada seorang gadis kecil yang berdiri sendirian, tersenyum di tengah hujan, seperti mendengar sebuah melodi yang hanya ia yang tahu.

Arya memandang gambar itu lama, lalu berkata, "Kadang, suara yang paling indah memang bukan yang bisa didengar telinga."

Mata Nara bersinar, dan untuk pertama kalinya, seseorang mendengar suaranya yang tak pernah diucapkan.



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama