RAPI 10 : Penyakit Antraks Merebak, Perlukah Tradisi Tetap Dipertahankan?


Antraks adalah penyakit bakterial bersifat menular akut pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh bakteri Bacillus Anthracis. Antraks bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya, namun tidak dapat ditularkan antara sesama manusia. 


Ternak dapat terinfeksi penyakit Antraks apabila memakan pakan atau meminum air yang terkontaminasi spora tersebut, jika spora mengenai bagian tubuh yang luka. Ternak penderita dapat menulari ternak yang lain melalui cairan (eksudat) yang keluar dari tubuhnya. Cairan ini kemudian mencemari tanah sekelilingnya dan dapat menjadi sumber untuk munculnya kembali wabah di masa berikutnya. Manusia dapat tertular apabila terpapar melalui luka terbuka di kulit, menelan atau menghirup spora antraks.


Belakangan ini, wabah antraks merebak di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang menjangkit puluhan orang. Kasus ini diduga terjadi karena tradisi Brandu yang dijalankan masyarakat di daerah tersebut. Disebutkan bahwa tradisi ini merupakan pemotongan sapi dan kambing sakit yang dipotong paksa atau pemotongan hewan ternak yang telah mati. Lalu, daging diperjualbelikan ke tetangga dengan harga di bawah standar untuk membantu meringankan kerugian yang ditanggung pemilik ternak. 


Keputusan tentang apakah tradisi-tradisi yang berkaitan dengan antraks perlu dipertahankan atau tidak harus didasarkan pada beberapa faktor, seperti kesehatan masyarakat, keberlanjutan tradisi, dan pendidikan, serta kesadaran masyarakat. 


Kesehatan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Jika tradisi-tradisi tertentu dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit antraks dan berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. Maka tindakan pencegahan yang tepat harus diambil, seperti mengurangi kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau menghindari pemakaian produk hewan yang terkontaminasi.


Jika tradisi-tradisi tersebut merupakan bagian penting dari identitas budaya atau komunitas tertentu, maka penting untuk mencari cara yang aman dan sehat untuk mempertahankan tradisi tersebut. Dalam beberapa kasus, dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengawasan yang ketat untuk meminimalkan risiko penyebaran penyakit.


Pendidikan masyarakat tentang risiko antraks dan langkah-langkah pencegahan yang tepat sangat penting. Menyediakan informasi yang akurat dan mendidik masyarakat tentang bahaya antraks, cara-cara untuk melindungi diri sendiri dan hewan ternak dapat membantu mengurangi risiko penyebaran penyakit, serta mempertahankan tradisi dengan lebih aman.


Sebagai tradisi masyarakat yang menyangkut nilai, budaya, dan etika, apakah tradisi ini akan dipertahankan atau tidak? Tidak bisa diputuskan begitu saja. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dengan melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. 


Salah satunya, yakni tradisi menjadi bagian penting dari identitas dan warisan budaya suatu masyarakat. Tradisi mengandung nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dari sudut pandang ini, tradisi yang berpengaruh buruk bagi kesehatan mungkin tetap dipertahankan asalkan ada cara untuk mengurangi atau menghindari dampak negatifnya bagi kesehatan, misalnya dengan melakukan modifikasi, adaptasi, atau kompromi terhadap tradisi tersebut agar sesuai dengan kondisi dan pengetahuan kesehatan yang ada saat ini.


Selain itu, kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus diutamakan dan dilindungi. Kesehatan adalah faktor penting untuk kesejahteraan, produktivitas, dan kebahagiaan manusia. Dari sudut pandang ini, tradisi yang berpengaruh buruk bagi kesehatan harus dihentikan atau ditinggalkan karena bertentangan dengan hak-hak dasar manusia, misalnya melakukan edukasi, advokasi, atau hukum terhadap tradisi tersebut agar masyarakat menyadari dan mau mengubah perilaku yang merugikan kesehatannya.


Terakhir, tradisi dan kesehatan merupakan dua hal yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Tradisi dapat mempengaruhi kesehatan, baik secara positif maupun negatif, tergantung pada konteks, makna, dan praktiknya. Sebaliknya, kesehatan juga dapat mempengaruhi tradisi baik secara positif maupun negatif, tergantung pada kondisi, pengetahuan, dan sikapnya. Dari sudut pandang ini, tradisi yang berpengaruh buruk bagi kesehatan harus dilihat sebagai sebuah tantangan atau peluang untuk menciptakan harmoni antara tradisi dan kesehatan, misalnya melakukan dialog, kolaborasi, atau inovasi terhadap tradisi tersebut agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan kesehatan yang ada saat ini.


Bagaimanapun, sebuah tradisi harus tetap dihargai dan dihormati, tanpa mengabaikan hak-hak dan tanggung jawab sebagai manusia, sekaligus anggota masyarakat. Dalam kasus ini, tradisi Brandu atau Mbrandu dan Porak tidak perlu dihapuskan, karena nilai dari tradisi tersebut perlu dipertahankan. Nilai gotong royong sudah melekat menjadi identitas budaya dari bangsa Indonesia, sehingga kita wajib melestarikan nilai tersebut. Yang perlu dilakukan adalah memodifikasi tradisi tersebut agar tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat. 


Daging hewan ternak yang sakit ataupun sudah mati, tidak layak untuk dibagikan kepada masyarakat. Agar tidak menghilangkan nilai dari tradisi ini, anggota masyarakat lain tetap melakukan iuran sebagai rasa simpati kepada pemilik ternak yang ternaknya sakit/mati, sehingga diharapkan dapat meringankan kerugian pemilik ternak tersebut. 


Untuk mengatasi wabah antraks pada sapi, perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian yang ketat. Pemantauan kesehatan sapi, vaksinasi yang tepat, dan penanganan yang baik terhadap hewan yang mati perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran virus. Dibutuhkan kerjasama antara peternak, otoritas kesehatan hewan, dan pemerintah untuk memantau situasi dengan ketat.


Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang virus antraks dan cara mencegah penyebarannya. Masyarakat perlu diberi informasi atau pengetahuan tentang tanda dan gejala penyakit, praktik kebersihan yang baik, dan pentingnya melaporkan kasus yang mencurigakan kepada otoritas kesehatan. 


Selain tradisi, terdapat faktor lain yang menyebabkan masyarakat di daerah Gunung Kidul menggali dan mengonsumsi lagi sapi yang sudah dikubur, yakni faktor ekonominya. Ekonomi masyarakat yang rendah menyebabkan mereka kesulitan mendapatkan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini, tentu saja akan menimbulkan pemikiran pada masyarakat untuk mengkonsumsi sapi yang telah dikubur. Selain itu, faktor pengetahuan mengenai kesehatan juga turut berdampak, kurangnya pengetahuan mengenai penyebab mengkonsumsi daging hewan yang telah mati dan tidak adanya kandungan gizi justru memberikan dampak negatif berupa penyakit.


Solusi yang dapat diterapkan kepada masyarakat adalah melakukan edukasi bahaya mengkonsumsi daging hewan yang sakit atau telah mati, memodifikasi tradisi Brandu/Mbrandu dan Porak, dan intervensi pemerintah dalam upaya meningkatkan ekonomi dan pendidikan masyarakat secara komprehensif dan merata.


Trianda Nurlia Hidayat, Azra Khairunisa Hanifah, Muhammad Arif Saputra, Nahda Fitry Ayendra, dan Annisa Salsabila.

UKPM Pena KM FKM Unand

Generasi Arunakara


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama