RASA 06 : Perempuan Hebat, Perempuan Tangguh

 

Quotes

"Bagian-bagian yang merendahkan diri selalu berada di hati, tetapi sekarang, mungkin kita telah menerimanya sebagai bagian dari diri kita. Karena hanya kita sendiri yang bisa melakukannya."
-Azizah Salsabil Burhan-

"Tak peduli seberapa banyak dinding yang menghalangimu, dan seberapa banyak kerikil yang melukai kakimu. Namun kau takkan pernah berhenti, karena semua tak bisa melebihi tangguhmu.
-Atina Rizki-

“Ingatlah, meskipun kehidupan tidak adil kepadamu, selalu ada sosok seorang ibu yang bersedia untukmu menyandarkan kepala, dan bercerita di bahunya.”
-Naufal Eka Dhiarrahman-


Puisi

Penilaian Diri
Oleh Azizah Salsabil Burhan

Waktu terus berlalu
Sendirian walau di sekitar orang banyak
Merasa paling berbeda
Padahal nasib semua orang sama saja
Merasa paling sengsara
Padahal orang lain juga mengalaminya

Melihat orang lain bahagia
Melihat diri sendiri sedih
Menangis tersedu-sedu
Dengan hati yang amat hancur
Dikala menjalani kehidupan yang penuh cobaan
Jangan hanya memikirkan apa yang tidak penting
Yang penting adalah syukuri, nikmati dan jalanilah cobaan yang diberikan


Perempuan Tangguh
Oleh Atina Rizki

Makhluk tuhan yang mulia
Tak semua orang bisa memandangnya
Tak semua orang bisa sepertinya
Dan tak semua orang tahu akan mahkotanya
Mereka mengenalnya, tapi tak pernah mengerti akan perjuangannya
Tak pernah menghargai akan usahanya
Dan tak pernah paham akan keinginannya 

Kata mereka, semua orang sama
Namun, bebas tak pernah ada dalam garisnya
Mereka bagaikan tuli dan buta
Selalu merundung semua cita
Selalu mencari tempat untuk mencela
Tapi semua hanyalah sia-sia
Karena pada akhirnya, perempuan selalu bisa meraih masa


Cerpen

Siang hari nan tenang, aku memandang langit biru penuh awan dari pelataran rumah selepas menjemur pakaian. Ku duduk, terlihat anak-anak bermain. Ku geser kepalaku, terlihat dua orang ibu yang sedang asik bercengkrama. Pandanganku, kini kukembalikan ke langit yang biru, sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Aku pun melamun.

“Farrah, tolong bantu Ibu, Nak.” Ibu memanggil dari arah dapur, memecah lamunanku.

“Iya, Bu,” balasku. Aku pun langsung tegak, berjalan ke tempat suara ibu berasal. Disana, aku melihat sosok wanita dengan rambut kurang dari sebahu yang sedikit kusut karena bekerja dari pagi hari. Ia sedang menguleni adonan roti diatas meja.

“Apa yang bisa dibantu, Bu?” tanyaku. 

Ibu menoleh, “Tolong belikan Ibu barang di daftar belanja ya Far, ini uangnya. Kunci motor ada diatas meja kamar ya.” 

“Siap, Bu!” Aku membaca secarik kertas daftar belanja sembari menuju kamar untuk mengambil kunci. Terlihat di daftar sejumlah bahan-bahan roti dan kue pesanan pelanggan, seperti tepung terigu protein sedang, ragi, telur dan ekstrak vanili. Selain itu, aku harus membeli sejumlah barang lainnya. Aku bergegas mengambil kunci yang tergeletak di atas meja dan langsung menuju motor yang terparkir di luar rumah.

“Ibu, Farrah berangkat dulu!” Teriakku dari luar rumah. Ku naiki motor, kemudian ku nyalakan dan langsung menuju arah pasar. Perjalanan ke pasar tidaklah lama, tetapi aku sengaja mengendarai motor dengan perlahan untuk menikmati suasana siang yang cerah dengan semilir angin. Suasana yang menenangkan memang. Namun terlalu tenang, suasana yang mengingatkanku akan kejadian di hari itu, kejadian yang terjadi belum terlalu lama, dan itu tentang Ayah.

Ayahku bekerja di perusahaan ternama di pusat kota, sehingga dia sering pulang larut malam. Hanya hari libur, beliau bersama kami. Meskipun begitu, ayah adalah orang yang hebat. Dia memastikan untuk bekerja dengan giat dan meyakinkan ibu untuk tidak mencari pekerjaan dan cukup mengerjakan urusan rumah.

Suatu hari, ayah pulang dari kerjanya lebih cepat dari biasanya. Beliau berkata bahwa harus berkemas karena ada urusan bisnis selama lima hari dengan perusahaan di negara tetangga. Beliau mengatakan akan dijemput oleh teman kerjanya pada malam hari untuk mengejar waktu penerbangan. Malam pun tiba. kami bertiga menikmati makan malam dan berbincang hangat, hingga tiba saat ketika suara klakson mobil terdengar dari luar rumah, menandakan teman kerja ayah sudah tiba di depan rumah. Ayah pun pamit kepada kami.
Selama lima hari itu dengan giat belajar memanggang roti dan kue dengan harapan memberikan ayah kejutan ketika ia sampai di rumah nanti. Selama lima hari itu ibu dan aku hanya bisa berbicara dengan ayah melalui telefon. Kemudian, tiba hari dimana ayah akan pulang kembali ke rumah. 

Siang itu sangatlah tenang, langit biru dengan awan berjejeran. Angin sepoi-sepoi berhembus menerpa kulit. Saat itu, ibu telah selesai memanggang kue dengan rasa vanili. Sambil menunggu telepon dari ayah, kami menyalakan televisi sambil berbincang. Selang waktu satu jam, masih tidak ada kabar dari ayah, ibu pun mulai khawatir. Kami pun terus menunggu, hingga kami mendapat telefon dari nomor asing. Ibu mengangkatnya, mendengar kalimat dari telepon itu, ibu terdiam sejenak, kemudian mematikan telepon dan berbicara, “Farrah, kamu jaga rumah sebentar ya, Nak. Ibu mau pergi keluar sebentar.” 

Ibu langsung bergegas pergi mengendarai motor dengan raut wajah gelisah meninggalkanku. Kue yang tadi pun menjadi dingin. Siang yang telah berganti menjadi sore, aku pun menanti kepulangan kedua orang tuaku di rumah. Namun tetap saja tidak ada yang datang. Mentari pun ikut terbenam, tidak jua tiba. Hingga selang satu jam, ibu tiba dengan raut wajah sedih dengan rambut yang sedikit kusut. 

Ibu berkata kepadaku dengan mata berkaca-kaca,  membawa berita duka, “A-ayahmu, sudah tidak ada, Nak ….”
Mendengar perkataan ibu, aku tak kuasa menahan tangis dan air mata. Mataku sembap dibuatnya. Hari yang tenang itu pecah akibat tangisan.

Lepas seminggu dari pemakaman ayah, ibu berkata kepadaku, “Ibu mau cari kerja, Nak.” 
Ibu yang sudah lama menganggur dan mengurus pekerjaan rumah, meninggalakan rumah dengan pakaian rapi untuk mencari pekerjaan. Sore harinya, ibu tiba dengan menghembuskan napas panjang. Ia berkata kalau masih belum mendapatkan pekerjaan. Selama tujuh hari berturut-turut, hasilnya tetap sama, buntu. Hingga, ibu memutuskan untuk memulai berjualan roti dan kue. Meskipun begitu, memulai bisnis ini tidaklah mudah. Pada awalnya, pelanggan yang dimiliki ibu tidaklah banyak, karena ibu mulai menjajahkan kuenya di sekitar perumahan.

Tapi ibu tidak kehilangan akal, ibu melakukan promosi roti dan kuenya di sosial media. Selain itu, sebagian dititipkan ke toko teman ibuku. Aku juga ikut membantu ibu dengan berbelanja dan mempromosikan ke teman-teman sekolah. Harapannya, mendapatkan pelanggan baru. Sampai saat ini, ibu masih melanjutkan bisnis roti dan kue tersebut.

Kehilangan sosok ayah memang menyakitkan bagi. Dan sosok suami bagi ibuku, yang menjadi pukulan berat. Namun ibu terus bangkit, dan melangkah maju. Aku sebagai anak satu-satunya, tidak boleh terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Aku harus terus membantu ibuku


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama