TEMA
: PERCAKAPAN
Ketika diri kehilangan
asa, semua tampak mengecewakan,
percakapan dengan hati
menjadi obat penenang untuk bisa bangkit kembali
-
Yori Aprila-
Hidup
berwarna bukan karena siapa orang yang menemanimu,
namun
percakapan indah yang kau dapat dengan orang yang tepat.
- Tasya Rivia-
Tenang
Oleh
: Rahmad Fadhil Caesario
Hujan mulai turun malam ini, kulitku
menangkap rasa dingin dari sudut ruangan. Ternyata aku belum menutup jendela
kamarku. Sembari menutup jendela kamar, aku melihat bumi ini sedang diberi
minum oleh Sang Kuasa setelah seharian menahan terik matahari. Sungguh indah
kuasa-Nya. Mataku pun berlanjut dengan melihat jam dinding. Astaga, ini sudah
larut malam. Aku terlalu fokus mengerjakan tugas kuliah dan organisasiku sampai
lupa batas normal untuk tidur. Aku bergegas membereskan meja belajar yang
tampak penuh oleh berbagai tuntutan
kehidupan. Setelah itu, aku bergegas siap-siap untuk tidur.
Sekarang hanya tersisa gelap dan suara
hujan dari luar rumah, aku mulai menarik selimut mencoba untuk memejamkan mata.
Akan tetapi, semua tak berjalan semestinya. Memejamkan mata bukan menjadi
jembatanku menuju lelap. Malah ini menjadi titik awal munculnya rasa gelisah
dan resah dalam diri. Ada hal yang janggal dan belum aku kerjakan. Tapi ketikaku
ingat-ingat semua tugas kuliah dan deadline organisasi sudah aku
kerjakan. Lalu hal apa yang masih membuatku resah? Pikirku mulai terlayang tak
pasti.
Akupun mencoba bangkit kembali dari tempat
tidur menuju dapur untuk meminum segelas air agar merasa tenang. Tapi bukan ini
solusinya, bukan ini penawarnya. Rasa ini masih sama saja. Mataku pun mulai
menoleh ke jam dinding dapur. Jarum jam pendek tepat menunjukkan jam tiga pagi.
Seketika teringat dibenakku. Ada dialog yang belum ku sampaikan, ada percakapan
yang tak terucap lagi selama ini. Aku terlalu sibuk mengejar kesibukan dunia
sampai dini hari, tapi apakah aku sempat untuk bercakap dengan Sang Kuasa di
sepertiga malam ini? Aku yakin, ini pertanda Allah SWT rindu dengan Hambanya.
Ini kesempatanku untuk meminta maaf. Meminta maaf pada Sang Pemberi Tenang.
Ujung Percakapan Kita
Oleh : Yona Oktaviona Tri Putri
Diiringi suara hujan dan alunan musik
favoritku, Us dari Keshi, aku kembali teringat bagaimana percakapan antara aku
dan kamu tadi sore. Di mana aku dan kamu duduk di tempat pertama kali kita
bertemu. Duduk berdua dengan canggung, entahlah aku tidak tahu kapan rasa
canggung ini ada di antara kita. Suasana
dingin antara kita semakin terasa saat kamu memanggilku dengan nama lengkapku,
aku tidak masalah dengan itu, hanya saja aku tidak terbiasa dan merasa aneh
dipanggil oleh kamu dengan nama lengkapku. Iya hanya itu saja, hanya itu tapi
itu sangat jelas. Iya semakin memperjelas keadaan kita.
Saat
kamu memanggilku dengan tidak biasa untuk memulai percakapan ini, aku masih
setia memanggilmu dengan panggilan yang biasa aku gunakan, sejenis panggilan
kesayangan. Ya benar aku berusaha menghangatkan kembali suasana kita saat itu,
tapi sia-sia saja usahaku, karena memang keadaan kita sudah sangat-sangat dingin.
Namun akan ku cari lagi kesempatan untuk menghangatkan kita kembali, pikirku
saat itu.
Setelah
30 menit lamanya dari kamu memulai percakapan ini, aku yang selalu mencari kesempatan
untuk menghangatkan kita kembali kalah dengan kamu yang memang sudah tidak mau
itu terjadi lagi. Aku menyadari apa yang ku lakukan sedari awal kita duduk
disini hanya menunda ujung percakapan kita. Ujung yang memang sudah kamu
paksakan walau aku tidak ingin.
Cakap Angin
Oleh : Shabrina Erika
Sayup
lirih terbawa semilir angin
Membelah
sunyi di antara kedua insan
Tak
ada suara pemecah hening
Hanya
sekadar menumpangi angin
Gelak
tawa yang dahulu menjadi langganan
Kini hanya mengisi persyaratan
Posting Komentar