RASA 8

 

TEMA : PERCAKAPAN

 

Ketika diri kehilangan asa, semua tampak mengecewakan,

percakapan dengan hati menjadi obat penenang untuk bisa bangkit kembali

- Yori Aprila-

 

Hidup berwarna bukan karena siapa orang yang menemanimu,

namun percakapan indah yang kau dapat dengan orang yang tepat.

 - Tasya Rivia-

 

Tenang

Oleh : Rahmad Fadhil Caesario

Hujan mulai turun malam ini, kulitku menangkap rasa dingin dari sudut ruangan. Ternyata aku belum menutup jendela kamarku. Sembari menutup jendela kamar, aku melihat bumi ini sedang diberi minum oleh Sang Kuasa setelah seharian menahan terik matahari. Sungguh indah kuasa-Nya. Mataku pun berlanjut dengan melihat jam dinding. Astaga, ini sudah larut malam. Aku terlalu fokus mengerjakan tugas kuliah dan organisasiku sampai lupa batas normal untuk tidur. Aku bergegas membereskan meja belajar yang tampak penuh  oleh berbagai tuntutan kehidupan. Setelah itu, aku bergegas siap-siap untuk tidur.

Sekarang hanya tersisa gelap dan suara hujan dari luar rumah, aku mulai menarik selimut mencoba untuk memejamkan mata. Akan tetapi, semua tak berjalan semestinya. Memejamkan mata bukan menjadi jembatanku menuju lelap. Malah ini menjadi titik awal munculnya rasa gelisah dan resah dalam diri. Ada hal yang janggal dan belum aku kerjakan. Tapi ketikaku ingat-ingat semua tugas kuliah dan deadline organisasi sudah aku kerjakan. Lalu hal apa yang masih membuatku resah? Pikirku mulai terlayang tak pasti.

 Akupun mencoba bangkit kembali dari tempat tidur menuju dapur untuk meminum segelas air agar merasa tenang. Tapi bukan ini solusinya, bukan ini penawarnya. Rasa ini masih sama saja. Mataku pun mulai menoleh ke jam dinding dapur. Jarum jam pendek tepat menunjukkan jam tiga pagi. Seketika teringat dibenakku. Ada dialog yang belum ku sampaikan, ada percakapan yang tak terucap lagi selama ini. Aku terlalu sibuk mengejar kesibukan dunia sampai dini hari, tapi apakah aku sempat untuk bercakap dengan Sang Kuasa di sepertiga malam ini? Aku yakin, ini pertanda Allah SWT rindu dengan Hambanya. Ini kesempatanku untuk meminta maaf. Meminta maaf pada Sang Pemberi Tenang.

 

Ujung Percakapan Kita

Oleh : Yona Oktaviona Tri Putri

Diiringi suara hujan dan alunan musik favoritku, Us dari Keshi, aku kembali teringat bagaimana percakapan antara aku dan kamu tadi sore. Di mana aku dan kamu duduk di tempat pertama kali kita bertemu. Duduk berdua dengan canggung, entahlah aku tidak tahu kapan rasa canggung ini ada di  antara kita. Suasana dingin antara kita semakin terasa saat kamu memanggilku dengan nama lengkapku, aku tidak masalah dengan itu, hanya saja aku tidak terbiasa dan merasa aneh dipanggil oleh kamu dengan nama lengkapku. Iya hanya itu saja, hanya itu tapi itu sangat jelas. Iya semakin memperjelas keadaan kita.

   Saat kamu memanggilku dengan tidak biasa untuk memulai percakapan ini, aku masih setia memanggilmu dengan panggilan yang biasa aku gunakan, sejenis panggilan kesayangan. Ya benar aku berusaha menghangatkan kembali suasana kita saat itu, tapi sia-sia saja usahaku, karena memang keadaan kita sudah sangat-sangat dingin. Namun akan ku cari lagi kesempatan untuk menghangatkan kita kembali, pikirku saat itu.

   Setelah 30 menit lamanya dari kamu memulai percakapan ini, aku yang selalu mencari kesempatan untuk menghangatkan kita kembali kalah dengan kamu yang memang sudah tidak mau itu terjadi lagi. Aku menyadari apa yang ku lakukan sedari awal kita duduk disini hanya menunda ujung percakapan kita. Ujung yang memang sudah kamu paksakan walau aku tidak ingin.

 

Cakap Angin

Oleh : Shabrina Erika

Sayup lirih terbawa semilir angin

Membelah sunyi di antara kedua insan 

Tak ada suara pemecah hening

Hanya sekadar menumpangi angin

Gelak tawa yang dahulu menjadi langganan

Kini hanya mengisi persyaratan

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama