RAPI 9 : Demo DPR 25 Agustus: Gerakan Rimpang atau Agenda Elite?

 


Demonstrasi yang berlangsung pada Senin (25/8/2025), menyisakan sejumlah catatan penting bagi kehidupan demokrasi Indonesia. Tiga agenda berbeda yang muncul di media sosial mulai dari pembubaran DPR, permintaan agar Presiden Prabowo membubarkan DPR, serta pengadilan terhadap “Geng Solo” menjadi potret fragmentasi pendapat masyarakat. Fenomena ini bukan sekadar dinamika aksi jalanan, melainkan refleksi dari keragaman keresahan publik sekaligus tantangan konsolidasi gerakan sosial di era digital.


Kemunculan tiga agenda yang berbeda mencerminkan keresahan masyarakat yang nyata. Namun, arah tuntutan yang terpecah membuat gerakan kehilangan fokus dan sulit membentuk konsolidasi yang kuat. Media sosial memperkuat keragaman narasi, tetapi pada saat yang sama menjadikannya rentan kehilangan daya tekan politik. Tanpa adanya satu tuntutan tunggal yang bisa diperjuangkan bersama, demonstrasi berpotensi hanya menjadi luapan emosi sesaat.


Banyak pihak menilai aksi ini menyerupai “gerakan rimpang” yang cair, adaptif, dan minim koordinasi. Hal ini terlihat dari beragamnya tuntutan, ketiadaan instrumen aksi konvensional, serta pola penyebaran isu melalui media sosial. Kehadiran massa yang sebagian besar hanya datang tanpa membawa poster maupun orasi memperkuat kesan bahwa gerakan ini lebih merupakan simbol kehadiran ketimbang aksi terorganisasi.


Namun, tidak bisa diabaikan juga bahwa elite politik ikut bermain. Pola narasi yang konsisten, seperti isu “Geng Solo”, memberi tanda ada framing terstruktur. Artinya, meskipun ada keresahan riil di akar rumput, elite memanfaatkan momentum ini untuk mendorong agenda mereka. Jadi, demo 25 Agustus adalah kombinasi gerakan spontan masyarakat yang kemudian diperbesar oleh amplifikasi elite lewat buzzer.


Di sisi lain, respons negara tampak berlebihan. Beton dilumuri oli, barikade berlapis, dan pengamanan ketat memberi kesan bahwa DPR lebih memilih mengurung diri ketimbang mendengar aspirasi rakyat. Padahal, mayoritas massa hadir dengan cara damai. Langkah-langkah semacam ini justru memperlebar jarak antara rakyat dan wakilnya.


Kita tentu perlu waspada terhadap narasi yang beredar di balik demonstrasi. Tidak semua isu murni muncul dari keresahan rakyat, sebagian bisa saja dipicu atau diperbesar elite politik. Namun, kewaspadaan ini tidak boleh berubah menjadi delegitimasi. Demonstrasi tetap hak rakyat, bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.


Kuncinya adalah keseimbangan, kritis terhadap narasi, tetapi tetap menghormati ruang ekspresi publik. Justru keberagaman suara inilah yang menunjukkan demokrasi masih hidup. 


Demo 25 Agustus adalah cermin politik Indonesia hari ini. Aspirasi rakyat ada, tapi masih tercerai-berai. Aksi berlangsung simbolik, sementara elite berusaha memanfaatkan momen. Negara merespons dengan ketakutan berlebihan alih-alih membuka telinga.


Sumber: Analisis Sentimen Medsos: Ada Apa di Balik Demo DPR 25 Agustus? https://tirto.id/analisis-sentimen-medsos-ada-apa-di-balik-demo-dpr-25-agustus-hgvp?utm_medium=Share&via=TirtoID&utm_source=Whatsapp


Divisi Litbang dan Divisi HRD

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama