RASA 6 : Senandung 90-an

 




Puisi/Sajak


Langkah Kita, Jalan yang Berbeda
Oleh : An-Nisa Salsabila


Waktu berlari tanpa menoleh,
satu per satu langkah menjauh,
namun suara tawa masa lalu,
tetap bernyanyi di kepala.

Kita berpisah bukan untuk hilang,
hanya menempuh jalan masing-masing,
dan persahabatan ini akan selalu menjadi jembatan,
yang menyatukan hati dalam kenangan.

Kita dan Hari-Hari yang Penuh Cerita
Oleh : An-Nisa Salsabila


Di jalan tanah yang berdebu,
kita tertawa tanpa beban,
bermain bola di lapangan kosong,
atau sekadar menukar kelereng di bawah pohon jambu.

Tak ada kamera,
hanya ingatan yang merekam,
betapa sederhana bahagia itu,
ketika persahabatan tumbuh tanpa syarat.

Senandika

Oleh : Salsa Nadira

Senandika 1

Lagu baru menggema di telingaku. Nadanya membawaku ke masa lalu. Kenangan lama yang selamanya tersimpan di dalam kalbu.

Senandika 2

Kunyalakan piringan hitam. Setiap putarannya seperti jalan yang tak berkesudahan. Di mana melodi terakhir akan berhenti? Biarlah ia abadi.

Quotes

Oleh : Alsya Salsabila

Quotes 1

"Senandung itu mengajarkan kita bahwa waktu tak bisa diulang, namun kenangan bisa dipeluk setiap kali lagu itu kembali terdengar. Ia bukan sekadar musik, tapi cara semesta berkata, bahwa yang indah tak harus baru, dan yang tulus tak pernah usang."

Quotes 2

"Tak semua luka butuh obat, kadang hanya perlu satu lagu lama untuk mengingat bahwa kita pernah kuat meski tanpa sebab.”


Cerpen

THE CYGNUS

Oleh : Nafisah Calvina Izumi


Langkah sepasang sepatu berwarna violet itu menimbulkan suara yang sedikit bising. Terik matahari yang menyengat dan rasa penat setelah dihajar berbagai jenis pelajaran membuat beberapa pelajar berjalan sedikit pelan dengan wajah lesu. Namun, beberapa pelajar ada juga yang langsung mendapatkan suntikan energi begitu mendengar bel pulang berbunyi.

Alice bersemangat untuk sampai di rumah, bukan tak sabar merebahkan tubuhnya di kasur empuknya, melainkan ada seseorang yang tengah menunggu kepulangannya. 

Baru saja Alice membuka gerbang rumahnya, bocah laki-laki itu sudah duduk di lasehan kayu tempat mereka menghabiskan waktu bersama sambil membaca buku milik Alice.

Bocah laki-laki itu terlalu larut dengan bacaannya sampai ia tak sadar orang yang ditunggunya sudah tiba. "Ohh jadi kau mendahului ku untuk belajar tentang bintang," ucap Alice mengintip buku itu dari belakang punggung bocah laki-laki itu.

Ia tersentak mendengar suara Alice lalu membalikkan tubuhnya menghadap Alice. "Kau pulangnya lama, aku sudah tak sabar belajar denganmu."

Alice tersenyum karena menahan rasa gemas seraya mengusap pucuk kepala bocah laki-laki yang lebih muda tiga tahun darinya. "Maafkan aku pulang sedikit terlambat tadi aku mampir sebentar ke pasar." Alice mengeluarkan dua botol jus persik dari tas sandangnya. 

"Ini untukmu," ucap Alice memberikan satu botol itu kepada bocah itu.

Matanya begitu berbinar menerima botol yang berisi jus kesukaannya. "Wahh kalau begini aku tidak jadi marah kepadamu, terimakasih kak Alice," ujarnya sambil tersenyum hingga membuat kedua matanya membentuk garis lurus, menurut Alice itu sangat menggemaskan.

"Kalau aku baik begini baru kau panggil aku kakak."

"Oh iya tadi kau di sekolah belajar tentang apa? Ayo ajarkan aku setelah itu aku akan menjelaskan kepada mu tentang bintang yang sudah aku baca." Selalu begini, bocah itu sangat antusias menunggu Alice pulang karena ia ingin belajar bersama. 

Malvin, itu nama dari bocah laki-laki itu. Kehadiran bangsa penjajah di negeri mereka membuat seluruh pergerakan mereka terbatas termasuk di dunia pendidikan. Beruntungnya Alice lahir di keluarga saudagar kaya jadi ia bisa bersekolah. Hal itu mustahil didapatkan Malvin dari golongan menengah ke bawah. 

"Sebelum itu aku mau kasih hasil ujian mu kemarin." Seperti di sekolah setelah mempelajari sesuatu akan ada sebuah ujian hal itu juga Alice terapkan dalam mengajari Malvin dan soalnya sama dengan soal ujian di sekolahnya.

Alice memberikan dua lembar kertas tersebut kepada Malvin. "Selamat Malvin kau mendapatkan nilai sempurna, aku bangga kepadamu."

"Ini semua berkat kau juga, terimakasih kak Alice."

"Aku berjanji akan terus belajar bersama mu sampai kita sukses bersama Malvin."

...
Di akhir pekan sekolah diliburkan. Alice dan Malvin sudah membuat janji untuk bermain di tepi danau, sebenarnya Alice yang memaksa untuk beristirahat belajar terlebih dahulu. 

Setelah menghabiskan sarapannya Alice langsung bergegas menjemput Malvin. Ia harus pergi lebih pagi sebelum Malvin yang datang ke rumahnya. Jika tidak maka rencananya untuk terlepas dari kata belajar gagal, Malvin pasti akan mengeluarkan seribu jurus membujuk Alice untuk belajar bersama.

Lingkungan sekitar rumah Malvin terbilang cukup berbahaya untuk seorang gadis dari golongan atas seperti Alice. Para tentara penjajah terkadang tiba-tiba menyerang atau melakukan penyiksaan di daerah masyarakat kelas bawah. Di pagi seperti itu sudah pasti sepi karena orang-orang masih tertidur atau baru terbangun, sejujurnya Alice takut dengan keadaan seperti ini tapi mau bagaimana lagi demi menghabiskan waktu libur dengan bermain.

Terdengar teriakan dari sebuah rumah. Langkah Alice terhenti pikiran buruk yang sedari tadi berada di benaknya seolah terealisasikan. Tak jauh di depannya seorang lelaki dengan pakaian lusuh diseret keluar dari rumahnya oleh tiga tentara dalam keadaan yang penuh luka. Tak lama seorang wanita dan satu anak kecil keluar sambil memohon agar lelaki itu tidak dibawa yang Alice yakini itu adalah istri dan anaknya. 

Bukannya kabur atau bersembunyi demi keselamatannya Alice malah mematung menyaksikan kejadian itu. Secara tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang. "Tak bisakah kau menunggu ku untuk menjemput mu? Kalau para keparat itu juga menyeret mu di sana bagaimana?" Saat perjalanan menuju rumah Alice ia tak sengaja melihat gadis itu dan langsung menarik Alice untuk bersembunyi.

Selama mereka bersembunyi Alice tak berani menatap Malvin. Bocah yang menggemaskan dikenalnya seolah menghilang dari diri Malvin. 

...
Alice menyerahkan sebuah kotak kecil kepada Malvin. "Hadiah untukmu." Malvin menatap Alice kebingungan. Ia tidak langsung menerima kotak tersebut. Hadiah? Malvin rasa ia tak melakukan suatu hal yang spesial dan lagi pula hari ulang tahunnya pekan depan, jadi untuk apa Alice melakukan ini.

"Aku diterima di sekolah itu dan dua hari lagi aku sudah tinggal di asrama, jadi tak apakan aku memberikan hadiah ulang tahun mu lebih cepat?" Kabar itu layaknya petir di siang bolong yang membuat Malvin terdiam seribu kata. Ia senang impian Alice untuk bersekolah di sana terwujud namun mengapa gadis itu baru memberitahunya saat lusa mereka sudah berpisah, mengapa tidak dari kemarin-kemarin. Senyuman yang diberikan Alice juga membuatnya kesal, gadis itu berpura-pura kuat padahal matanya sudah berkaca-kaca.

Malvin tak kunjung buka suara dan lelaki itu juga lebih memilih menatap pemandangan di sekitar tepian danau, ia enggan menatap gadis yang tengah duduk disampingnya. Begitupun dengan Alice ia sedari tadi tengah memikirkan cara untuk memecah keheningan di antara mereka namun niatnya ia kurung melihat wajah Malvin yang begitu serius, seperti tak mau diganggu.

"Vin, kau lagi butuh waktu sendiri kan? Aku pulang dulu ya," pamit Alice belum sempat ia berdiri tangannya ditahan oleh Malvin.

"Aku antar sampai ke rumah," ujar Malvin.

Mereka jalan berdampingan bak orang asing. Untungnya, jalanan menuju ke rumah Alice melewati keramaian, jadi suasana hening di antara mereka tak begitu terasa.

"Maafkan aku baru memberitahumu terlambat, jangan terlalu lama kesal dengan ku apalagi sampai marah dan semoga kau suka dengan hadiahnya," ucap Alice sebelum masuk ke rumahnya. Malvin menjawab hanya dengan anggukan saja yang kembali menciptakan suasana canggung. Tak nyaman dengan keadaan itu Alice pun segera masuk ke dalam rumah. Begitu pintu kayu bewarna putih itu tertutup rapat barulah Malvin berbalik badan dan segera pulang.

Sesampainya di rumah Malvin segera menuju kamar tidurnya dan membuka hadiah pemberian Alice. Terdapat sebuah stempel lilin dengan ukiran seekor angsa. Tak hanya itu saja rupanya terselip amplop putih dan terdapat perekat lelehan lilin yang bergambar seekor angsa juga. Malvin membuka amplop tersebut dan membaca isi surat dari 

Selamat ulang tahun Malvin. Waktu memang berlalu begitu cepat hingga aku tak menyangka kau menginjak usia 16 tahun, bocah kecil yang ku kenal sudah menjadi seorang remaja. Stempel lilin milik mu juga persis seperti milik ku, semoga kau suka. Selama aku di sana kau masih bisa berkomunikasi dengan ku lewat surat tapi jangan lupa pakai stempel itu ya jadi aku tau itu surat dari mu dan langsung aku balas secepatnya.  

Aku akan sangat merindukan dirimu yang selalu mengajak ku untuk belajar bersama dan mau untuk menjadi teman bermain ku selama ini. Berkat ajakan mu untuk belajar itu aku bisa masuk ke sekolah impian ku, terima kasih banyak Malvin. Semoga kau impian kau untuk teknisi yang handal juga tercapai. Walaupun jarak kita jauh, tapi kau harus janji bersamaku untuk tumbuh bersama.

Dari teman sekaligus kakak mu, Alice.

...
Sepulang kuliah Alice tidak langsung kembali ke asrama teman-temannya mengajak untuk mampir ke sebuah kedai teh yang jaraknya tak begitu jauh dari kampus mereka. Di depan kedai teh tersebut tampak seorang pria memakai topi berwarna cokelat tua memberikan selembaran. Mereka pun masing-masing mendapatkan selembaran itu.

Rupanya lembaran tersebut dari sebuah pabrik senjata yang tengah mencari peneliti. Alice yang membaca itu langsung terlintas seseorang di otaknya.

Begitu mereka mendapatkan tempat duduk Alice langsung melipat selembaran itu menjadi lipatan kecil kemudian ia mengeluarkan selembar kertas dan pena.

"Pasti surat untuk lelaki itu kan," tebak Stephanie teman sekamar Alice yang mengetahui sosok lelaki yang sering mengirimkan surat kepada Alice.

Alice yang tengah menulis surat itu pun mengangguk kemudian ia memasukkan surat dan selembaran tersebut ke dalam amplop yang selalu ada di dalam tas sandangnya. Kebetulan di depan kedai teh tersebut terdapat sebuah kotak surat yang biasanya akan diambil sore ini jadi surat itu bisa cepat sampai.

"Aku lihat juga kau sering menulis surat untuknya. Apakah lelaki itu kekasih mu Alice?" pertanyaan dari Rachel tersebut membuat senyum di wajah Alice menghilang. 

"Bukan, dia teman ku," jawab Alice sedikit pelan. 

Mitosnya hubungan persahabatan antar lelaki dan perempuan yang sudah terjalin lama, salah satu diantara mereka pasti menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat.

Bagi Alice itu bukanlah sebuah mitos melainkan fakta.

Jarak yang terbilang jauh itu tidak menurunkan rasa sukanya namun Alice semakin larut dan sudah terlanjur jatuh cinta. Surat-surat yang selalu dikirimkan oleh Malvin merupakan alasan utamanya. Setiap kalimat yang ia tulis terasa begitu melelahkan hati Alice dan seolah menggambarkan jika Malvin telah tumbuh menjadi pria yang dewasa. Tetapi terlepas dari semuanya status mereka tetap hanya sahabat. 

Rachel yang menyadari wajah Alice murung akibat pertanyaannya, tersenyum tipis lalu ia merangkul pundak Alice. "Maafkan aku Alice, tapi kau jangan sedih selesai ujian ini kita mendapatkan libur yang sangat panjang. Jadi kau bisa menghabiskan waktu bersamanya. Sudah tiga tahun lamanya mereka tidak dipulangkan jadi wajar saja Alice merindukan lelaki itu.

...
Alice sudah sampai di rumahnya saat fajar baru saja terbit. Soal kepulangannya ini Alice tidak memberi tahu Malvin. Kemarin Alice menerima surat dari Malvin kalau sore ini ia berencana untuk belajar di tepi danau, jadi Alice akan memberi kejutan di sana

Sesampainya di tempat yang penuh kenangan tersebut, dari kejauhan Alice terlihat seorang lelaki menggenakan baju putih yang dipadukan celana panjang berwarna cokelat itu tengah bersantai di bawah rindangnya pohon dengan buku yang ada ditangannya.

Meski Alice sedikit ragu kalau lelaki itu adalah Malvin ia tetap melangkah mendekat. Entah mengapa Alice menjadi gugup untuk memanggilnya.

"Malvin?" Mendengar seseorang memanggil namanya ia pun membalikkan tubuhnya.
"Alice." Netra Malvin begitu berbinar melihat sosok gadis yang selalu ia nantikan kepulangannya kini sudah berada di hadapannya.

Buku kesayangannya itu langsung ia tinggalkan. Saking bersemangatnya Malvin sampai berlari dan secara tiba-tiba menarik tubuh mungil Alice ke dalam pelukannya. 

Sial, mengapa detak jantungnya ini harus berdetak tak beraturan. Ini kali pertama Malvin memeluknya bahkan dekapan itu terasa sangat erat dan hangat. 

Malvin pun melepaskan pelukan itu. "Alice, apakah kau tetap tumbuh di sana? Mengapa kau masih terlihat mungil?" Celetukannya mendapatkan hadiah pukulan dari Alice. Gadis itu sangat tersinggung dengan kata mungil.

"Kau saja yang terlalu cepat tumbuh," gerutu Alice pergi meninggalkan Malvin kemudian ia duduk di tempat Malvin belajar tadi.

Malvin terkekeh melihat tingkah Alice yang menurutnya begitu menggemaskan. Malvin pun ikut duduk di samping Alice. Wajah cantik Alice tidak banyak mengalami perubahan hanya saja kini pipinya menjadi chubby, lagi dan lagi Malvin harus menahan rasa gemas.

Meski ia menatap hamparan danau, Alice menyadari tingkah Malvin yang enggan melepaskan pandangannya. Alice berusaha tidak mempedulikan agar semburat merah di pipinya tidak muncul. Ternyata dugaannya benar, Malvin mengalami pertumbuhan yang begitu pesat. Ia memiliki garis rahang tegas, tubuhnya sangat tinggi hingga membuat dirinya sejajar dengan dagu Malvin, dengan bahu lebar yang sangat pas untuk dijadikan sandaran, dan lelaki itupun semakin tampan.

"Kau jadi ikut tes di pabrik senjata itu?" tanya Alice untuk memecahkan keheningan diantara mereka.

Untungnya, Malvin cepat tersadar dari lamunannya. "Jadi, akhir pekan aku akan pergi ke kota." Antara senang dan sedih mendengar keputusan yang diambil Malvin. Senang Malvin mendapatkan kesempatan untuk meraih mimpinya dan memiliki penghasilan yang lumayan besar. Sedih harus berpisah lagi dengan Malvin. Alice takut mereka semakin jarang untuk bertukar surat karena kesibukan masing-masing.

"Baguslah kalau begitu, impian mu hampir tercapai."

"Semuanya berkat kau, tapi aku masih punya satu impian lagi apakah kau ingin membantu ku?" 

"Katakanlah aku akan membantu mu." Malvin menghirup nafas panjang dan ia sekarang tampak gugup membuat Alice semakin penasaran dengan satu impian Malvin.

"Aku ingin mengakhiri hubungan pertemanan kita." Dunia Alice seolah runtuh mendengar permintaan Malvin, apakah dirinya pernah membuat salah hingga Malvin tidak ingin berteman dengannya lagi? Sungguh Alice tidak ingin menjadi sejauh itu.

"Kau bukanlah sebagai teman ku lagi tapi aku ingin kau jadi kekasih ku, apakah kau bersedia Alice?" Pertanyaan Malvin bukannya mendapatkan jawaban iya atau tidak tetapi tangisan Alice yang tiba-tiba pecah.

Malvin panik apakah kata-katanya ada yang salah atau terlalu memaksa Alice. "Alice aku terlalu memaksakan mu ya? Maafkan aku kalau kau tidak mau kita bisa berteman seperti biasa," ucap Malvin sambil berusaha menghapus air mata Alice mengunakan ibu jarinya.

"Kau jahat mengapa tidak langsung saja kau bilang ingin jadi kekasih ku dan mengapa harus kau jeda?" tangis Alice seraya melayangkan pukul kecil di dada Malvin.

Malvin terkekeh mendengar alasan gadis itu menangis. "Jadi gimana kamu mau atau tidak?" tanya Malvin.

Sesegera mungkin Alice menyudahi tangisannya seraya menghapus jejak air mata yang jatuh. "Aku tidak mau." Jawaban sesingkat itu dapat membuat Malvin terdiam dan membuang muka tak mau menatap Alice.

Alice tersenyum tipis berhasil membalas keisengan Malvin. "Maksudnya aku tidak mau menolak permintaan mu," sambung Alice lalu ia tertawa lepas melihat ekspresi wajah Malvin seperti orang kebingungan. 

Sedetik kemudian Malvin baru tersadar kalau Alice memberikan serangan balik. "Oh jadi kau tidak mau kalah." Malvin pun ikut tertawa bahkan ia menarik pucuk hidung Alice sedikit kencang.

...
Kini Malvin resmi menjadi peneliti tetap di pabrik senjata tersebut dan hubungan asmaranya dengan Alice pun tak terasa sudah terjalin selama setengah tahun.

Namun hampir tiga pekan Alice tidak kunjung mengirimkan surat balasan, aneh tak seperti biasanya. Di dalam surat itu Malvin memberi tahu alamat tempat tinggal barunya jadi tidak mungkin gadis itu masih mengirimkan surat di alamat yang lama. 

Kinerja Malvin sempat terganggu mendengar perkataan salah satu rekan kerjanya. "Wanita dari keluarga kaya tau seperti dia pasti dijodohkan dengan lelaki dari kalangan yang sama atau lebih tinggi dari mereka. Bisa jadi kekasih mu seperti itu." 

Sejak awal kasta mereka sangatlah berbeda bak langit dan bumi. Tapi hati kecil Malvin yakin Alice tak akan meninggalkannya begitu saja.

Para peneliti dikumpulkan di ruang rapat untuk memecahkan masalah bahan baku untuk membuat senjata dikarenakan permintaan pasar yang melonjak. Direktur perusahaan tetap teguh pada keputusannya untuk memakai material yang terbilang murah namun berbahaya untuk kesehatan para buruh. 

"Jika kita tetap menggunakannya itu sangat berdampak saat proses pembuatannya, direktur. Terdapat serbuk apabila sering masuk ke pernapasan itu sangat berdampak pada kesehatan buruh," ucap seorang peneliti senior menyampaikan pendapatnya.

Pria berkepala plontos itu tak acuh terhadap pendapat yang diberikan. "Dampaknya saat pembuatan saja tidak saat digunakan bukan? Jangan khawatir masalah buruh mereka hanya orang bodoh mana mengerti jika itu berbahaya untuknya." Beberapa staff di ruangan itu menghela nafas berat melihat keegoisan sang direktur.

"Pokoknya mulai besok ganti semua bahan baku itu lagi pula kita harus menghemat semua pengeluaran," tegas sang direktur setelah itu ia langsung meninggalkan ruang rapat.

Sekarang tinggal para peneliti di dalam ruangan rapat. Mereka tampak frustasi dengan keputusan direktur. "Dasar pelit ia lebih mementingkan uang dibandingkan para pekerjanya," gerutu Malvin sedari dulu kesal dengan sifat buruk sang direktur.

"Jujur saya tak tega melihat buruh yang dipaksa terus bekerja namun tidak mendapatkan bayaran setimpal, ditambah dengan bahan baku yang bisa saja merusak kesehatan."

Para peneliti mungkin hanya beberapa kali saat melakukan penelitian saja berurusan dengan bahan baku berbahaya itu dan selalu menggunakan masker pelindung jadi tidak terlalu mendapatkan dampak besar bagi kesehatan mereka.

Namun para buruh harus bersentuhan langsung dengan bahan baku tersebut dalam jangka waktu yang lama dan tidak diberikan pelindung, perusahaan tidak memfasilitasinya.

"Ini resiko bekerja di pabrik yang masih ada campur tangan penjajah mereka tidak akan memikirkan nasib sesama pribumi."

...
Para gadis tawanan penjajah itu bisa menghirup udara segar setelah disekap di ruangan lembab tanpa cahaya matahari. Mereka tetap berjalan meski dengan kondisi lemah itu. Semua tawanan diperintahkan untuk masuk ke dalam mobil bak, mereka sudah pasrah akan dibawa kemana.

Mobil yang mengangkut para gadis itu berhenti di sebuah pabrik senjata. "Apakah kita akan dijadikan eksperimen sebuah senjata?" ujar salah satu gadis saat mengetahui bangunan di hadapan mereka itu adalah pabrik senjata. Hal itu sudah dipastikan membuat gadis yang lainnya panik.

"Hei jangan ribut!" teriak seorang tentara yang menjadi penjaga mereka dalam beberapa hari belakangan. 

Semua tawanan itu tertunduk ketakutan. "Bersyukurlah Letnan berbaik hati kepada kalian. Di tempat ini kalian tidak dijadikan eksperimen tetapi kalian akan dipekerjakan menjadi buruh."

"Sudah tidak dibunuh malah dikasih pekerjaan dan mendapatkan bayaran, mengala kalian harus membenci kehadiran kami," ucap seorang tentara yang seolah menghina para tawanan. 

Di dalam diri para tawanan itu ada rasa ingin memukul wajah menyebalkan bedebah itu dan menembakinya secara brutal seperti yang dilakukan terhadap keluarga mereka.

Satu persatu rantai yang ada di tangan mereka pun dilepaskan lalu mereka di bawa masuk ke dalam pabrik.

...
Para buruh baru diberikan hunian di sebuah rumah susun yang jaraknya tak jauh dari pabrik. Bagi Alice dan teman-temannya tempat ini sudah lebih baik dibandingkan ruangan tempat mereka tinggal selama beberapa hari terakhir.

"Alice, aku merasa bersyukur bisa merasakan hidup kembali," ucap Ellia seraya menatap selembar foto keluarganya yang terselip di sakunya. 

Ellia merupakan seorang putri tunggal dari pengusaha paling sukses di kotanya, kedua orang tua dan saudara laki-lakinya terbunuh di pembantaian itu. Ellia sempat kabur namun tertangkap oleh dua orang tentara, semenjak mereka disekap Ellia menjadi teman dekat Alice yang saling melindungi.

"Aku juga setidaknya kita memiliki pekerjaan jadi kita bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari," balas Alice sambil memandangi surat dari Malvin yang sempat ia amankan dalam baju tidurnya.

Alice sudah mulai mengikhlaskan kepergian kedua orang tuanya. Kini ia hanya memiliki Malvin di dalam hidupnya. Pasti Malvin sedang kesal tidak kunjung mendapatkan balasan darinya. Semoga saja lelaki itu tidak marah hingga mencari wanita pengganti dirinya.

...
Permintaan pasar yang semakin melonjak membuat para buruh harus bekerja melebihi jam kerja hingga membuat beberapa buruh kelelahan. 

Tetapi ada satu hal yang membuat Alice sedikit lebih bersemangat. Ia bisa melihat Malvin meskipun dari kejauhan. Surat yang ia kirimkan tidak kunjung mendapatkan balasan mungkin Malvin masih marah. Alice tidak ingin menemui Malvin secara langsung, jika lelaki itu tau dengan keadaannya sekarang pasti ia sangat khawatir dan sudah dipastikan pekerjaannya sangat terganggu.

Kesehatan Alice semakin menurun seperti buruh yang lain. Mereka memiliki gejala sama kesulitan bernapas yang masih belum tau apa penyebabnya. Buruh-buruh yang tengah sakit itu terpaksa datang bekerja karena perusahaan melarang untuk mereka beristirahat setidaknya sehari saja.

Saluran pernapasan Alice secara tiba-tiba menutup jalur masuk oksigen. Alice berusaha menghirup udara sekuat-kuatnya namun hasilnya nihil, dadanya semakin sesak. Perlahan penglihatannya kabur kemudian Alice tak tau apa yang terjadi selanjutnya.

Suara dari tubuh Alice yang ambruk seketika menarik perhatian seluruh pekerja. Para peneliti yang tengah melalui area itu penasaran mengapa para pekerja berkerumun.

"Ellia cepat kau kesini Alice pingsan!" teriak salah satu buruh wanita. Malvin mendengar nama yang sama seperti sang kekasih. Tak mungkin gadis itu berada disini tapi Malvin semakin penasaran dengan wajah buruh yang pingsan itu. Ia pun maju membelah gerombolan itu dan saat ia berhasil sampai dibarisan depan.

"Alice!" teriak Malvin kekhawatirannya terjadi buruh itu adalah kekasihnya, Alice. Ia langsung mengangkat tubuh Alice dan membawanya keluar dari pabrik.

...
Malvin hanya bisa melihat tubuh Alice yang terbaring lemah dengan alat-alat pembantu pernapasan yang melekat ditubuhnya lewat kaca pembatas. Kandungan zat yang dihirup dari bahan baku itu sudah hampir merusak keadaan beberapa bagian paru-paru Alice. 

"Ini semua salah ku, aku yang membuat Alice seperti ini." Malvin tak kunjung berhenti merutuki dirinya sendiri. Kekasihnya harus jadi korban karena ia tak berusaha sedikit lagi untuk membujuk sang direktur.

Mengapa tuhan mempertemukan dirinya kembali dengan Alice dengan cara seperti ini. Keadaan Alice semakin memprihatinkan tubuhnya kurus dan terdapat kemerahan disekitar lengan dan kakinya, Malvin sama sekali tidak tahu apa yang terjadi selama ini.

Saat dirinya menatap Alice yang tengah terbaring Malvin dikejutkan dengan suara alat pendeteksi detak jantung yang berbunyi nyaring. Para dokter langsung dengan sigap masuk ke dalam ruangan Alice. Lelaki itu semakin panik apakah kekasihnya baik-baik saja.

"Alice aku mohon kau harus bertahan," lirih Malvin. 

Tak berapa lama bunyi alat itu sudah tak terdengar lagi Malvin langsung berdiri di depan pintu ruangan tersebut. Setelah itu para dokter keluar namun raut wajahnya seperti akan menyampaikan berita buruk.

"Maafkan kami tuan." 

Perlahan Malvin mendekati Alice yang tengah beristirahat dengan tenang. Malvin tak percaya dengan apa yang terjadi. Tangannya membelai lembut wajah gadis itu. "Alice, pasti sekarang kau tidak merasa sakit lagi, maafkan aku." 

...
Semenjak Alice dimakamkan Malvin selalu mengurung diri di dalam kamar. Ia masih belum mengikhlaskan kepergian gadis itu. Salah satu rekan kerja Malvin, Eric mengetuk pintu kamarnya. Tak ada jawaban dari Malvin langsung saja Eric membuka pintu. Rupanya lelaki itu sedang tidur.

"Ada kiriman dari penghuni rumah lama mu," ucap Eric meletakkan sebuah kotak di samping Malvin, lagi-lagi lelaki itu tidak bergeming sedikitpun. 

Terdengar pintu kamarnya sudah tertutup kembali Malvin langsung bangun dari tidurnya dan membuka kotak tersebut.

Isi kotak itu adalah surat-surat yang memiliki perekat bergambar seekor angsa, sudah dapat dipastikan itu milik Alice. Malvin membuka surat yang paling atas. 

Hai kekasihku. Maafkan aku baru sempat membalasnya. Pasti kau sedang kesal saat membaca ini.

Beberapa hari terakhir ini aku mengalami hal yang sangat berat di dalam hidupku. Malvin, sekarang aku tinggal sendiri, tentara itu membunuh kedua orang tua ku, aku menyaksikan semuanya. Setelah itu mereka menyekap aku dengan gadis yang lainnya dan menyiksa ku, sangat sakit.

Mereka memberi kami pekerjaan di pabrik dan saat itulah aku melihatmu, kau tampak berkarisma mengenakan jubah putih itu seketika sakit yang ada di tubuhku hilang, ternyata selain jenius kau bisa menjadi obat ya. Hari-hari aku menyaksikan mu dan kau menjadi penyemangatku bekerja di pabrik.

Selamat bekerja Malvin dan sampai jumpa di pabrik.

Malvin tertawa miris seraya menghapus air matanya. "Jadi kau sudah pernah melihatku, mengapa kau tidak saja langsung menghampiriku." Malvin melipat kembali surat itu kemudian lanjut dengan surat yang kedua.

Malvin, entah kenapa akhir-akhir ini nafas ku terasa sesak bukan aku saja yang merasakannya yang lain juga. Aku ingin pergi memeriksanya ke rumah sakit kota tetapi uang ku tidak cukup untuk itu.

Malvin, aku yakin kau sibuk jangan lewatkan jam makan dan tidurmu, hiduplah dengan baik, dan jika aku pergi tolong ikhlaskan aku. Entahlah, ini hanya terlintas di benakku begitu saja. Aku akan sembuh, pasti rasa sesak di dadaku ini karena aku kelelahan nanti suatu saat aku akan menghampiri dan berhenti menatapmu dari kejauhan.

Hiduplah dengan baik.
Dari kekasihmu, Alice.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama