RASA FKM 5: Serpihan Rindu

 


Puisi/Sajak

Kucari Kamu

Oleh Inaya Nadira Sari

Jangan rindu dulu kata mu

Kita hanya terhalang jarak

Bukan terhalang takdir


Sorot mata mu kala itu

Seakan membuat ku ingin menahan mu di dekap ku

Tak ada yang pernah menatapku seindah mata mu

Teduh, tenang, dan penuh kasih


Beribu orang yang ku temui

Beribu mata yang ku tatap

Tetap saja, tak ada yang seperti mu


Aku rindu

Rindu melihat mu

Berdiri dihadapan ku


Serpihan Rindu

Oleh Yasmine Futicha Royani

Rindu ini seperti hujan yang turun

Diam-diam menetes di sudut hati

Menjadi serpihan kecil

Yang tak pernah bisa utuh


Setiap detik, ia merayap

Mencari celah di antara luka

Mengingatkan aku pada malam yang panjang

Tanpa kata-kata


Serpihan-serpihan itu

Tak pernah bisa ku kumpulkan

Meski tangan selalu mencoba

Tetap ada yang terlepas, hilang


Rindu ini tak pernah sempurna

Hanya sebait puisi yang tak tuntas

Seperti bayangmu yang tetap ada

Meski jarak membentang tanpa batas


Serpihan Rindu

Oleh Dina Aulya Putri

Dalam hening malam, kuingat kalian

Teman sejati, dalam suka dan duka

Serpihan rindu mengalir dalam bait

Membawa kembali kenangan yang takkan pudar


Kita bertiga, seperti bintang di langit

Bersinar terang meski terpisah jarak

Setiap detik bersamamu adalah harta

Kini ku simpan dalam hati selamanya



Senandika

Oleh Dina Aulya Putri

Kadang rindu itu kayak lagu yang diputar di spotify, tiba-tiba muncul dan bikin hati bergetar. Tapi, pas udah selesai, ya udah deh, kembali ke realita. Serpihan-serpihan rindu ini bikin aku mikir, kenapa ya kita harus jauh-jauh? Gak enak banget! Huft


Serpihan Rindu
Oleh Dhealova Putricia

Matahari terbenam membawa harapan baru, namun serpihan rindu ini tak kunjung sirna, seakan terus membekas hingga akhir hayat tiba. Dalam setiap langkah yang tertatih, terseret arus rindu yang mengikis luka, diterpa angin syahdu menyapa kelopak mata.

Sampai kapan rindu ini akan terus menetap, sampai kapan hati ini akan terus terkikis serpihan rindu. Suara hati berbisik mengigat saat saat kita bercerita, kepedihan dan kebahagiaan membentuk jalinan tak terpisah, mengajarkan betapa indahnya setiap kisah yang kita lalui bersama.

Kadang rasa sakit yang ku rasa, menjadi pengingat cinta dan hubungan berharga yang telah kita jalin. Menciptakan makna baru dalam hidup, yang membawa arus bahagia ketika kau ada disini. Rindu ini, mengalir dalam denyut nadiku, menjadi bagian diri ku yang tak akan pernah pudar.


Quotes

Oleh Dina Aulya Putri

"Bunga yang paling cantik sekalipun tak bisa menghilangkan aroma serpihan rindu kepada Sahabat ku, karena aromanya begitu unik dan spesial."


Cerpen

Serpihan Rindu Tiga Sahabat SMP
Oleh Dina Aulya Putri

Kehidupan setelah SMP terasa begitu berbeda. Kami bertiga, Salsa, Naila, dan aku, Dina, dulu bercita-cita kuliah di tempat yang sama. Namun, takdir membawa kami ke jalan yang berbeda. Kini, ribuan kilometer memisahkan kami. Sambil duduk di kantin kampus, aku membuka galeri foto di ponsel. Senyumku merekah saat melihat foto-foto masa lalu. Masih jelas teringat betapa bahagianya kami saat pertama kali bersahabat. Penuh semangat dan mimpi yang sama.

Persahabatan kami bertiga berawal dari sebuah kelompok yang lebih besar saat SMP. Namun, karena berbagai alasan, hanya kami bertiga yang tetap bersatu. Naila, gadis cerdas yang selalu belajar mandiri. Dina, si humoris yang sering membuat kami tertawa lepas. Dan Salsa, yang selalu punya cerita seru tentang kisah cintanya.

Ada satu kejadian yang tak terlupakan. Kami pernah berselisih dengan kakak kelas karena salah satu dari mereka menyukai teman kita. Kakak kelas itu selalu berusaha mencuri perhatian di depan kelas, sampai-sampai mengganggu kenyamanan belajar kami. Saat teman-teman lain menegur mereka, malah kami yang dianggap salah. Kejadian itu justru membuat persahabatan kami semakin kuat.

Namun, takdir berkata lain. Saat pengumuman SBMPTN, kami bertiga tidak berhasil. Kegagalan itu sempat membuat kami sedih, tapi kami memutuskan untuk belajar bersama sambil melepas penat. Tak disangka, kami berhasil lolos SBMPTN. Sayangnya, kami harus berpisah karena diterima di universitas yang berbeda. Salsa di Jatinangor, sementara aku dan Naila di Padang. Meskipun sedih, kami sepakat untuk saling mendukung dan bertemu saat liburan.

Seiring berjalannya waktu, rasa rindu semakin terasa. Aku masih ingat jelas saat Salsa meneleponku beberapa minggu lalu. Suaranya terdengar begitu merindukan masa-masa kita bersama. Meskipun terpisah jarak, kami tetap terhubung melalui grup chat. Kami sering berbagi cerita tentang kehidupan kuliah masing-masing. Bahkan, kami sering bermain game bersama untuk mengobati rindu. Ya, begitulah hidup, penuh kejutan dan tak terduga.

Saat bermain game bersama teman-teman kuliah, aku seringkali merasa seperti sedang bersama Salsa dan Naila. Ketika sendirian di kos, aku suka melihat-lihat foto-foto lama. Kenangan indah bersama mereka selalu membuatku tersenyum. Jarak memang memisahkan, namun persahabatan kami tetap abadi. Aku berharap suatu hari nanti kita bisa berkumpul lagi dan tertawa bersama seperti dulu. Sampai bertemu lagi, Trioku!



Bubur Kacang Hijau Fanya
Oleh Izzah Khairunnisa
Sinar mentari mulai menyapa kota itu, yang awalnya bersembunyi dibalik Gedung- gedung tinggi, kini menampakkan dirinya. Sepeda motor dan mobil berlalu lalang di jalanan mengejar tujuan mereka. Fanya, seorang mahasiswi yang sudah lama menetap di kota yang penuh dengan hiruk pikuk dunia, kota yang berjalan dengan cepat mengikuti arus perkembangannya, saat ini, masih memejamkan matanya, terperangkap dalam mimpi yang penuh warna.

Hingga….

Kring……

Bunyi alarm memenuhi suasana kamar itu. Sudah sepuluh menit yang lalu berbunyi, tetapi tak ada respons apapun dari gadis itu. Ia mulai membuka matanya persekian detik kemudian, merasakan keanehan dari dirinya. Fanya segera melihat kearah jam wekernya mengamati pukul berapa sekarang. Tepat tiga puluh menit lagi kelasnya akan dimulai. Gadis itu segera berlari ke kamar mandi dengan gontai. Kepalanya terasa berat mengingat ia mengerjakan tugas kuliahnya semalaman.

Kamar yang biasanya rapi, kini berantakan, buku-buku berserakan, dan baju kotor menumpuk di sudut. Napasnya terengah-engah saat ia berusaha mengenakan pakaian dengan cepat. Suara perut Fanya yang kelaparan hampir menyaingi suara kendaraan di jalan. Perutnya kosong karena belum makan sejak semalam. Fanya menjejakan kaki keluar rumah merasakan udara pagi yang dingin dan penuh polusi itu. Suara klakson mobil dan langkah kaki yang terburu-buru menyatu dalam simfoni kehidupan. Bangunan-bangunan tinggi menjulang, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang dipenuhi dengan pejalan kaki. Diantara orang- oranng itu, Fanya harus bersaing mencari transportasi untuknya. Berdiri di tepi jalan memperhatikan bagaimana kecilnya dirinya di kota ini. Ia mulai mengabaikan semua pikiran yang berbisik-bisik di kepala dan fokus pada keterlambatannya.

Fanya tetaplah Fanya. Sejak ia masih duduk di bangku SD hingga sekarang, tak pernah sekalipun ia tepat waktu. Gadis itu bahkan sering dijuluki kura-kura karena sering telat. Walaupun ia sudah berjanji mulai sekarang untuk tidak lagi terlambat, tetap saja tanpa sadar, gadis itu akan mengulanginya.

Fanya tiba di depan gedung kuliah kampusnya. Belum sempat Fanya menghela nafas, ia harus berjuang lagi menghadapi perjalanan jauh menuju kelasnya. Ia berlari dengan cepat berusaha mengejar waktu. Dalam kepanikan, Fanya tidak memperhatikan langkah kakinya. Tiba-tiba, kakinya terpeleset oleh lantai licin, mengempaskan badannya ke lantai, jatuh terlungkup.

“Aduh!” serunya.

Rasa sakit bercampur malu timbul mendengar beberapa orang tertawa melihat ia jatuh, tetapi tidak satu pun dari mereka berinisiatif membantunya. Dengan cepat, gadis itu bangkit, mengusap debu di bajunya, dan melihat lututnya membiru karena lebam. Kakinya terseok-seok  melewati lorong kelas itu.

Dengan nafas tersenggal, Fanya menaiki setiap anak tangga dengan cepat. Fanya merasakan nadinya berdenyut cepat. Setiap langkah yang ia lewati terasa pelan. Kakinya serasa tak berfungsi dengan baik, tetapi ia tetap harus berada di kelas pada pukul 07.30 kali ini.

Gadis berambut ikal coklat itu tiba dua menit setelah pembelajaran berlangsung. Ia mengamati seisi kelas dari balik pintu dan menyadari bahwa dosennya sudah masuk. “Gimana, nih…” paniknya sambil menggulung lengan bajunya.

Sisa tenaga yang Fanya miliki kini ia gunakan untuk menghadapi beribu pertanyaan dari dosennya. Dengan langkah ragu, Fanya mulai mengetuk pintu kayu coklat itu. Wajahnya panik dan takut sangat tergambar jelas.

“Selamat pagi, Bapak…” ucapnya ragu dan bergetar.

Semua mata tertuju pada Fanya, memperhatikannya dengan seksama. Ia merasakan tatapan  teman-temannya penuh rasa ingin tahu dan sedikit ejekan.

“Apakah kamu tahu sekarang sudah jam berapa?” tanya pak dosen dengan sedikit kesal.

“Iya, Pak…” ucap Fanya pelan. Ketika suara dosen itu meninggi dan wajahnya berkerut karena kemarahan, Fanya tahu sudah tak ada jalan lain lagi. 

“Sesuai perjanjian yang sudah disepakati, kamu tidak bisa masuk kelas hari ini! Kamu tidak menghargai perkuliahan ini,” ujar pak dosen dengan tegas. 

Mendengar perkataan tersebut, tubuh Fanya rasanya ingin rubuh pada detik itu juga. Ia mengangguk pelan tanda mengerti, menatap pelan teman-temannya dan berakhir kepada dosennya. Fanya keluar dari ruangan itu, menutup pintu dan pergi dari sana.

Kini, Fanya sudah berada di gazebo fakultasnya, ia menatap parkiran sepeda motor yang berada di depannya. Menatap semua hal yang ia lihat. Namun, pikirannya kosong melayang-layang entah ke mana. Ia mengambil lembaran tugas yang semalam ia kerjakan, menatap namanya di halaman depan. Fanya Asha Kalyna, “harapan dan keberentungan”. Sebenarnya ia membenci namanya yang memiliki arti terlalu indah untuknya, tetapi hanya itu satu-satunya warisan yang ia miliki.

Fanya menggenggam lembaran itu dengan erat. Hatinya bergetar seakan ada sesuatu yang mengendap di dadanya. Suara detak jantungnya bergetar cepat memenuhi tubuhnya. Ia berusaha menahan air mata, tetapi rasa sakit itu semakin mendesak.

Menyadari ada hal yang lebih sakit dari tubuh nya, Fanya menyadari rasa sakit dari lututnya mulai terasa. Ia memperhatikan lututnya kembali, kini sudah berlumur darah. Rasa sakit menyengat saat ia mencoba mengusapnya. Di balik itu semua, Fanya merasa malu, kecewa, ingin bersembunyi dari pandangan semua orang yang berada di sana.

Tiba-tiba, dari arah barat, seorang gadis berambut keriting dan mengenakan head phone menyapa Fanya dengan menempelkan minuman dingin ke pipi Fanya.

“Jangan gitu, ya...” Fanya terkejut. 

Gadis ber-head phone itu menatap Fanya dan duduk di sampingnya.  Gadis itu adalah Rani, satu-satunya teman yang ia miliki di fakultas yang sama.

“Kamu kenapa murung begitu?” tanya Rani

“Ah... Tidak apa-apa, kakiku cuma luka sedikit.” jawab Fanya memperlihatkan kakinya yang masih berdarah.
 
“Fanya! Kok bisa dibiarin aja?” kesal Rani. “Ayo kita obati ke klinik!”

“Udahlah, ini cuma luka sedikit.” tolak Fanya

“Kalau tidak, kita ke ruang kesehatan fakultas ini saja, hanya sebentar, kok.” ajak Rani sekali lagi.

Dengan langkah pelan, kedua gadis itu berjalan menuju ruang kesehatan. Ruangan itu tampak sepi dengan aroma antiseptik yang menyengat. Di sudut, ada tempat tidur kecil untuk tempat istirahat bagi mahasiswa yang sakit. Fanya duduk di meja adminstrasi berisi buku pengunjung, sedangkan Rani mulai mencari beberapa barang yang bisa digunakan untuk mengobati luka Fanya. Ia merupakan salah satu pengurus di sana sehingga memudahkannya untuk melakukan apapun.

Dengan hati-hati, Rani membersihkan luka di lutut temannya ini. “Kalau sakit bilang saja, ya.” katanya sambil mengoleskan antiseptik dan memperhatikan kondisi wajah temannya yang merintih kesakitan.
 
Fanya menggigit bibirnya menahan sakit, tetapi Rani bisa melihat senyumnya kembali ketika lukanya dibalut dengan perban. Fanya memperhatikan setiap hal yang dilakukan temannnya itu, mengingatkannya pada ibunya. Persis. Selalu tersenyum saat Fanya melakukan hal ceroboh atau terjatuh.

“Sudah siap.” ujar Rani antusias dan segera duduk di kursi hadapan Fanya.

“Terima kasih.” jawab Fanya dengan pelan dan merasa bersalah.

 “Pasti telat lagi, kan?” tebak Rani.

“Kok tahu?” 

“Sudah selama ini kita berteman, tidak mungkin aku tidak tahu kalau kamu terjatuh karena tadi terburu-buru.” jelas Rani.

Ucapan temannya itu benar, membuat Fanya tak mampu berkutik. Wajahnya memerah karena malu dan menunduk memperhatikan lututnya yang sudah diobati.

“Aku bikin bubur kacang hijau, mau? Belum makan, kan?”

 “Iya…”

Fanya mengambil sekotak bubur kacang hijau dari Rani. Kotak bewarna merah muda dipadukan  dengan warna hijau dari kacang hijaunya. Bentuknya biasa saja, tetapi menggugah selera Fanya. Ia mulai menyendok bubur kacang hijau yang masih hangat. Setiap suapan terasa lembut di lidah. Rasa creamy dari susu berpadu sempurna dengan kelembutan kacang hijau. Entah berapa lama Rani merebusnya, kacang hijau itu terasa sangat lembut di lidah Fansya.

Saat suapan pertama itu, Fanya jadi teringat kepada pembuat bubur kacang hijau yang selalu ia nanti dulu. Bubur kacang hijau yang selalu menjadi pengganti kue saat ia berulang tahun. Kenangan itu kembali mengusik pikirannya. Rasanya sama, bahkan tak ada perbedaan sedikit pun. Memang benar, saat sudah lama tidak bertemu dengan orang lain, alat indra lain mulai lupa, tetapi indra pengecap akan tetap ingat. Rasa ini seakan kembali untuk Fanya.
 
Fanya menatap Rani dengan seksama, jika saat ini adalah ibunya yang berada di depannya, Fanya akan memeluk ibunya dengan erat. Rasa rindu yang mendalam tiba-tiba menyelimuti hati Fanya. Air matanya mulai menggenang di pelupuk mata, hampir tak tertahan. Dalam kepedihan itu, Fanya merasakan nyeri di hati nya. Rasanya kembali sama saat ibunya pergi.

“Kamu kenapa?”

“Aku benci”

“Hah?”

“Aku sudah melupakan semua hal tentang ibuku, Rani, termasuk suaranya. Aku benar-benar tak ingin mengingat nya lagi. Namun, buburmu….” Gadis itu terdiam sejenak memperhatikan sekitar.

“Terima kasih, Rani. Andai ibuku di sini, ia akan senang. Ia sudah lama meninggalkanku sendiri.” lanjut Fanya sembari menghapus air matanya, suaranya bergetar menahan air mata yang sudah memenuhi pipinya.

“Terima kasih bahkan di hari ulang tahunku ini.”


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama