MADING 22

 

TEMA: HOBI

·      POJOK QUOTES

 Seimbangkan hobi bermimpimu dengan hobi bekerja kerasmu

Karena mimpi tanpa kerja keras itu sia-sia

Kerja keras tanpa mimpi itu hampa

Noviana Sinta Dewi S.

 

·      POJOK INFO

 Berawal dari Hobi, Menjadi Peluang Usaha

Hobi bukan hanya sekedar kesenangan semata tetapi bisa dikembangkan menjadi sebuah bisnis. Ini bukan hanya pendapat semata, tetapi didukung juga dengan riset dari pengamat wirausaha dari Amerika Serikat yaitu Thomas Stanley. Ia mengatakan dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa 86% orang yang sukses dalam usaha dan karir karena mencintai dan meminati bidang usaha yang digelutinya.

Seperti halnya Nissa Nuraini, pemilik Naturacraft yang memulai bisnisnya dari hobi membuat kreasi seni dengan sentuhan teknik decoupage. Nissa memang senang dengan seni kerajinan tangan, tetapi dia baru mulai serius menjalankan hobinya ketika tengah mengandung anak pertama. Dia bahkan mengikuti sebuah kursus kerajinan seni dengan teknik decoupage selama dua hari untuk mengisi waktu luasnya tersebut sekitar 2007. Dari situ Nissa jatuh cinta dengan seni decoupage sehingga terus menekuninya. Seni kerajinan decoupage sendiri merupakan seni menghias suatu objek dengan menempelkan kertas tissue bermotif –khusus- ke permukaan sebuah objek.

Saat itu, Nissa memilih untuk mengkreasikan seni decoupage ke atas permukaan sebuah tas. Ternyata hasil kreasi tersebut banyak diminati oleh rekan-rekannya sehingga dia pun mulai membuat brand sendiri yang diberi nama Naturacraft, Nissa lalu mulai memasarkannya ke berbagai pameran dan juga pemasaran secara online. Banyak masyarakat yang antusias untuk mengikuti kursus seni kerajinan decoupage dan juga menjadikannya sebagai bisnis baru dengan menjual berbagai produk yang telah diberi hiasan decoupage. Adapun biaya untuk kursus offline berkisar antara Rp250.000 hingga Rp1,5 juta sedangkan kursus online mulai dari Rp100.000 hingga Rp1,25 juta, bergantung pada pilihan materi yang ingin diambil.

 

Sumber:

https://entrepreneur.bisnis.com/read/20200919/263/1293972/berawal-dari-hobi-wanita-ini-kembangkan-bisnis-beromzet-puluhan-juta

Dwinda Rahmadani

 

·      POJOK TIPS

 5 Tips Menemukan Hobi

Hobi memungkinkan kamu untuk menjelajahi minat di luar pekerjaan atau belajarmu disaat ini. Hobi menjadikan kamu lebih kreatif dan mencoba berbagai hal baru. Jika kamu bosan dengan hobi lama, maka mencoba hobi baru lah jalan keluarnya, agar dapat menyegarkan kreativitasmu kembali. Namun, dewasa ini banyak orang yang bingung bagaimana cara menemukan hobinya sendiri. Berikut ini tips bagaimana cara menemukan hobimu :

1.    Carilah minat kamu saat ini

Mungkin saja kamu sedang berminat dalam membaca saat ini lalu pikirkan lah apakah membaca bisa dijadikan hobimu atau tidak.

2.    Telaah keterampilan dan kepribadian kamu

Hobi tertentu membutuhkan set keterampilan khusus. Jika kamu bukan orang yang sabar, sebaiknya jangan coba merajut atau menjahit. Namun, jika kamu suka mengutak-atik dan membangun sesuatu, mungkin kamu bisa mencoba hobi seperti modifikasi mobil tua atau membuat perabotan. Manfaatkanlah kekuatan dan kemampuan kamu.

3.    Menjelajahi teritori baru untuk mencari ide

Jika sebelumnya kamu memiliki hobi membaca dan sering mengunjungi toko buku, maka sekarang mungkin kamu bisa menjalahi tempar baru seperti tempat kerajinan.

4.    Cobalah lebih dari satu hobi

Hobi pertama yang kamu coba mungkin tidak tepat. Jangan takut untuk beralih dan mencoba hal lain. Kamu berhak untuk menentukan minat pada sesuatu.

5.    Tekuni

Jika akhirnya kamu telah menemukan hobi yang kamu sukai, maka cobalah untuk menekuni. Tapi kamu harus ingat bahwa hobi jangan sampai menganggu pekerjaan ataupun sekolahmu, maka dari itu cobalah untuk mengatur jadwal dan waktumu dengan tepat.

 

Rani Andari

 

·      POJOK SASTRA

 Menjauh adalah Hobiku

      “Apa kamu bilang? Aku yang salah? Memang istri kurang ajar, kamu!” bentak Ayah dengan nada yang sangat kuat.

      Suara-suara beraneka nada menjadi sarapan setiap hariku. Ditemani secangkir tangis Ibu yang terisak-isak akibat bentakan Ayah yang tiada henti. Seakan tak tergambarkan romansa keharmonisan rumah tangga. Demi mengindari itu, aku pun memilih lebih awal berangkat ke sekolah.

      “Pagi, Anak Pembawa Sial,” sapa murid-murid di sekolahku.

      Awalnya kesal, tetapi panggilan “Anak Sial” bukan yang pertama atau kedua kalinya kudengar. Bahkan, ribuan kali julukan itu telah melekat pada diriku, seorang Seyna Adianta yang tak pernah diharapkan kehadirannya.

      Seperti biasa, aku melewati hari-hari dengan berdiam diri di kelas tanpa ada yang menemani. Untuk mengisi kekosongan, aku selalu menulis. Ada banyak hal yang kutulis di dalam diary. Di sana  tertuang luapan cerita hidupku.

      “Ke mana lagi, kamu?” tanya kakak tiriku sesampainya di rumah.

      “Kenapa? Enggak suka? Aku mau pergi main bentar, kok, bosan di rumah,” balasku dengan nada penekanan.

      Owhhh, ya udah sana, pergi! Pergi jauh-jauh, enggak usah pulang lagi,” usirnya percaya diri.

      Rasa kesal, marah, dan benci bercampur aduk di dalam hatiku. Seketika semua rasa itu berkecamuk ingin membalas semua perlakukannya kepadaku. Sesampainya di tempat tujuan, aku langsung memasuki babak arena pertarungan. Jalan raya adalah satu-satunya tempat hiburan bagiku, menghilangkan rasa sedih sekaligus menjadi sumber penghasilanku. Tak ada yang dapat aku lakukan selain dengan kegiatan ini. Awalnya berat untuk memulai, tetapi harus bagaimana lagi? Keadaan memaksaku untuk tetap ikut.

      “Kamu kenapa, Seyna?” tegur salah seorang teman dekatku.

      “Hmmm, gimana, ya, Enggak ada, kok,” lanjutku dengan nada bercanda, berharap semoga Dira tidak curiga.

      “Udah, cerita aja, enggak usah dipendam. Kalau sering memendam akan sering juga tersakiti, Seyna,” ejeknya dengan sedikit penekanan.

      “Iya, iya, aku tahu, kok. Tenang aja,” ledekku kepada Dira mencairkan suasana tegang di antara kami.

      “Aku pulang dulu, ya, udah malam juga, nih,” pamitku kepada semua orang di tempat itu sekalian menghindari pertanyaan dari Dira di awal berjumpa di basecamp ini.

      Sesampainya di rumah, aku disambut tatapan bola mata penuh api kebencian, seakan-akan bola mata itu siap menyerangku.

      “Sudah jam berapa, ini?” bentak Ibu.

      “Jam 23.30 malam, Bu,” sahutku dengan perasaan takut yang amat besar disertai deraian keringat.

      “Dengan santainya kamu bilang jam 23.30, kamu pikir ini hotel? Kerjaan kamu di dapur belum ada yang beres udah keluyuran aja kamu,” murka Ibu diikuti tarikan kuat dan hantaman rotan di tubuhku.

      “Sakit, Bu, sakit,” ucapku kepada Ibu meminta untuk menghentikan semua perlakuannya.

      Perasaan dan hidup yang kacau membuatku tak sanggup melanjutkan hidup di rumah ini. Tanpa pikir panjang, aku pun meninggalkan rumah kala semua orang terlelap.

      Setelah kepergianku berpuluh tahun yang lalu, masih tetap mengisahkan cerita yang begitu mendalam. Terlebih lagi, hadirnya “diary” sebagai alarm terkuatku. Hari itu, ada pertemuan sebuah Forum Komunitas Pemuda Maju yang telah lama aku dirikan beserta rekan-rekanku yang lain. Forum ini bertujuan untuk membangun semangat anak milenium yang hancur dalam keluarganya, sama seperti pengalamanku di masa lalu.

      Awalnya, aku tak percaya dengan apa yang kulihat kala itu. ”Alah, enggak mungkinlah,” gumamku dalam hati. Terus berjalan tanpa henti dengan penuh keyakianan bahwa yang aku lihat tadi adalah suatu kesalahan.

      “Assalamu’alaikum, semuanya,” sapaku penuh kehangatan.

      “Wa’alaikumsalam, Seyna,” sahut jamaah forum serentak.

      “Langsung aja, ya, soalnya masih ada kegiatan lain. Agenda apa yang akan kita rancang untuk minggu depan? Ada kegiatan atau aktivitas lain?” tanyaku tanpa basa-basi.

      “Kita akan bahas mengenai kajian minggu yang diselenggarakan minggu ini, Seyna, terkait rancangan juga kepanitiannya,” ujar salah seorang dari belakang sana, makin lama sumber suara mulai mendekat.

      “Bang Adam ?” ucapku spontan dengan nada tinggi.

      Hari sudah mulai malam, tetapi aku tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian siang itu. Aku yang tengah asyik dengan lamunan, tiba-tiba terkacau oleh suara ketukan pintu depan rumah.

      “Ibu” ucapku lirih melihat sosok wanita paruh baya di depanku.

      “Iyaaa, Nak, ini Ibu. Ibu rindu kamu, Seyna,” balas Ibu penuh pengharapan dan peluk hangat yang sudah lama aku rindukan.

      “Untuk apa Ibu datang ke sini dan dari mana Ibu tahu alamat ini?” tanyaku dengan perasaan kacau dan penasaran.

      “Ibu sayang kamu, pulang ya, Nak,” pinta Ibu kepadaku, tanpa menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Aku masih teringat semua perlakuan kasar mereka, seolah membuka memori lama, membuat ketakutanku mulai muncul.

      Enggak Bu. Maaf, untuk itu aku enggak bisa,” ucapku penuh keyakinan dan berharap Ibu akan pulang tanpa memaksaku ikut dengannya.

      “Ibu mohon, Nak, pulanglah dengan Ibu. Rumah kamu ada di sana, tempat berkumpul dengan keluarga besarmu. Ibu mohon kamu mengerti, hilangkan ego yang berlebihan, Nak,” ujar Ibu diikuti penekanan di setiap tutur katanya. Seketika nada penekanan itu mengajakku mengingat masa kelam sepuluh tahun yang lalu.

      “Ego, Bu? Sejak kapan Ibu bisa mengatakan mengenai ego kepadaku?” balasku penuh kebencian seraya melepas pelukan hangat Ibu.

      “Iya, Nak, tapi Ibu udah minta maaf sama kamu,” ucap Ibu tanpa ada perasaan bersalah.

      “Maaf? Cuma itu, Bu? Memang kata maaf bisa menghapus semua memori kelam itu, Bu? Kapan Ibu bisa meluangkan waktu sejenak saja denganku, sekadar menanyakan bagaimana hari-hari yang aku lalui setiap saatnya? Kapan, Bu?” bentakku dengan emosi dan amarah disertai tangisan yang tidak dapat kubendung lagi.

      “Semua itu aku lakukan sendiri, Bu, tanpa ada dampingan orangtua di sampingku. Balap motor yang Ibu bilang haram, itu semua aku lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Apa Ibu tahu itu?” tangis pun tidak dapat kubendung lagi.

      Tiga hari setelah kejadian itu, aku memutuskan pergi menjauh dari semua hal yang dapat mengungkit masa lalu. Kini, aku hidup di tengah keramaian kota Bali, tempat indah yang mampu menghipnotisku untuk melupakan semua kenangan buruk.

Putriani Tambunan

 

·      POJOK HUMOR

 Di gazebo taman, terdapat beberapa remaja yang sedang asyik berbincang ria. Mereka berbincang mengenai hobi dari masing-masing mereka.

Santi          : “We, aku mau nanya ke kalian, apa hobi kalian? Kali ajakan ada hobi yang                        lain dari pada biasanya. Pun kalau sama, bisalah sama-sama lakuin hobi yang                       disuka. Hmm, kalau aku sih hobinya main sepeda. Kalau kalian?”

Roni          : “Kalau aku hobinya main games. Biasalah anak cowok.” (Dengan yakin dan              lantang)

Bagas              : “Meskipun aku cowok, aku kurang suka main games sih. Hobi aku melukis, kayak senang aja gitu kalau melukis, mengekspresikan apa yang ada di dalam diri aku.” (Tersenyum ramah)

Joko                :”Wih keren hobi Kamu Bagas, lain kesempatan tolong lukis aku ya. Muka aku kan kayak model.” (Dengan penuh percaya diri)

Bulan             : “Hahaha, percaya diri banget kamu, tolong deh ngaca, Jok” (Tertawa menatap Joko) “ Kalau hobi aku menyanyi, apalagi lagu korea, hehehe

Joko           :  “Hobi Kalian keren semua ya. Kalau aku hobinya menatap Bulan.”

Santi             : “Wah, menatap bulan di malam hari ya, Jok? Aneh banget deh hobi Kamu, Jok.” (Merasa bingung)

Joko           : “Salah. Aku suka menatap Bulan yang di sini.” (Menoleh ke arah Bulan).

Mendengar pernyataan Joko, semua temannya kecuali Bulan tertawa dan menggoda Bulan. Sedangkan Bulan terlihat kesal dan menahan malu mendengar hobinya Joko.

Gabriella Tessalonika

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama